Akses Internet Masih Jomplang, Transformasi Digital Indonesia Belum Merata!
Tanggal: 13 Mei 2025 23:50 wib.
Tampang.com | Pemerintah Indonesia gencar mendorong transformasi digital di segala sektor. Namun di balik kemajuan kota-kota besar, masih banyak daerah pelosok yang belum menikmati koneksi internet yang layak. Ketimpangan digital ini menghambat pemerataan pembangunan dan keadilan sosial.
Desa Tanpa Sinyal, Sekolah Tak Bisa Belajar Daring
Menurut data Kominfo, hingga akhir 2024 masih terdapat lebih dari 10.000 desa/kelurahan di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil. Hal ini berdampak langsung pada layanan pendidikan, kesehatan, hingga usaha kecil yang bergantung pada konektivitas.
“Di desa kami, jaringan internet sering mati total. Saat pandemi, anak-anak kesulitan belajar daring. Sampai sekarang belum banyak berubah,” keluh Rini, guru SD di Nusa Tenggara Timur.
Kondisi ini bertolak belakang dengan visi pemerintah soal digitalisasi menyeluruh yang inklusif dan merata.
Pembangunan Infrastruktur TIK Masih Terkonsentrasi di Jawa
Salah satu akar masalahnya adalah pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang belum adil. Operator jaringan lebih fokus pada daerah dengan potensi ekonomi tinggi, sementara wilayah timur Indonesia masih dianggap tidak menguntungkan secara bisnis.
“Model pembangunan kita masih berorientasi pasar. Akibatnya, daerah terpencil kerap tertinggal,” ujar Bagas Rahardian, pengamat TIK dari ICT Institute.
Meski ada program Bakti Kominfo, progresnya dinilai lambat dan kurang berdampak signifikan di lapangan.
Transformasi Digital Tak Bisa Hanya Jadi Slogan
Ketimpangan ini menimbulkan jurang digital antara kelompok masyarakat urban dan rural. Tanpa intervensi serius dari pemerintah, transformasi digital berisiko memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi.
“Digitalisasi itu bukan hanya soal aplikasi dan startup. Yang paling dasar adalah akses internet sebagai hak dasar warga,” tegas Bagas.
Solusi: Fokus ke Wilayah Tertinggal dan Kemitraan Inklusif
Pemerintah perlu mengalihkan fokus pembangunan infrastruktur digital ke wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Diperlukan insentif nyata bagi operator, serta kolaborasi dengan komunitas lokal untuk memastikan internet tak sekadar tersedia, tapi juga terjangkau dan stabil.
“Jika digitalisasi benar-benar ingin inklusif, negara harus hadir di titik paling gelap sinyal,” pungkas Bagas.