Sumber foto: iStock

AI Menggeser Perempuan dari Dunia Kerja? Ini Ancaman Nyata dan Peluang Tersembunyi di Era Otomatisasi

Tanggal: 25 Mei 2025 21:35 wib.
Kecerdasan buatan (AI) terus berkembang pesat dan mulai menyentuh hampir semua lini pekerjaan. Namun, laporan terbaru dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menunjukkan bahwa dampak terbesar dari revolusi teknologi ini justru akan dirasakan oleh perempuan. Menurut laporan yang dikutip dari Reuters pada Rabu, 21 Mei 2025, sekitar 9,6% pekerjaan yang selama ini banyak diisi perempuan akan mengalami transformasi signifikan karena AI. Sebaliknya, hanya sekitar 3,5% pekerjaan laki-laki yang akan terdampak dalam skala serupa.

Data ini menyoroti ketimpangan dampak AI berdasarkan gender, terutama karena jenis pekerjaan yang paling rentan tergantikan adalah peran-peran administratif seperti sekretaris, yang mayoritas dijalankan oleh perempuan di berbagai belahan dunia. Pekerjaan ini umumnya memiliki rutinitas tinggi dan minim interaksi emosional, sehingga lebih mudah diotomatisasi oleh teknologi berbasis kecerdasan buatan.

AI Lebih Banyak Mengambil Alih Pekerjaan Perempuan? Ini Sebabnya

Laporan dari ILO menunjukkan bahwa sifat pekerjaan administratif seperti mengatur jadwal, menulis surat, menyusun dokumen, atau mengelola sistem informasi internal sangat rentan digantikan AI. Teknologi terkini bahkan mampu menjalankan tugas-tugas tersebut lebih cepat dan efisien, membuat perusahaan mempertimbangkan untuk mengganti tenaga kerja manusia demi efisiensi operasional.

Fakta bahwa perempuan mendominasi sektor pekerjaan administratif menjadikan mereka lebih rentan terkena imbas langsung dari gelombang otomatisasi ini. Apalagi, peran-peran seperti operator data, asisten eksekutif, dan resepsionis juga masuk dalam kategori yang paling mungkin terkena substitusi oleh mesin.

Otomatisasi Tidak Menghapus Semua Pekerjaan

Meskipun demikian, bukan berarti AI akan menghapus semua peran manusia di dunia kerja. PBB melalui laporan tersebut menekankan bahwa mayoritas pekerjaan tidak akan sepenuhnya tergantikan, melainkan hanya mengalami transformasi dalam beberapa tugasnya. Artinya, AI akan menjadi alat bantu, bukan pengganti mutlak.

Dalam konteks ini, manusia tetap akan dibutuhkan, terutama untuk pekerjaan yang membutuhkan empati, kreativitas, intuisi, dan pemikiran kritis. Pekerjaan di bidang pendidikan, layanan sosial, konsultasi, atau seni masih sulit tergantikan oleh mesin karena unsur kemanusiaan yang mendalam di dalamnya.

Peluang Baru di Balik Ancaman

Selain ancaman, perkembangan AI juga menciptakan peluang baru. Laporan ILO menyebutkan bahwa transformasi yang dihasilkan AI akan membuka jalan bagi pekerjaan-pekerjaan baru yang justru memperkuat peran manusia. Beberapa sektor seperti media, teknologi perangkat lunak, dan keuangan diprediksi akan mengalami perubahan signifikan, di mana peran manusia akan ditingkatkan dan diperkaya, bukan dihapus.

Dalam dunia media, misalnya, AI bisa digunakan untuk membantu riset, penulisan cepat, hingga analisis tren, namun konten yang bernuansa manusia tetap akan menjadi kebutuhan utama. Di sektor keuangan, teknologi dapat mengelola data dan analitik, tetapi keputusan strategis, pemahaman pasar, dan pendekatan konsultatif tetap membutuhkan campur tangan manusia.

Tanggung Jawab Bersama: Pemerintah dan Perusahaan Harus Siap

Menanggapi potensi disrupsi ini, ILO menyerukan perlunya kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, dan serikat pekerja untuk menyusun strategi adaptasi. Transformasi dunia kerja oleh AI harus dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas pekerjaan, bukan sekadar efisiensi yang memangkas tenaga kerja.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah peningkatan keterampilan melalui pelatihan ulang (reskilling) dan pengembangan keterampilan baru (upskilling) agar pekerja bisa beralih ke bidang yang lebih relevan dengan perkembangan teknologi. Ini menjadi penting, terutama bagi perempuan yang saat ini berada dalam pekerjaan dengan risiko tinggi terkena otomatisasi.

Pemerintah juga diimbau untuk menetapkan kebijakan perlindungan kerja yang adaptif serta mendorong investasi di sektor-sektor ekonomi baru yang berbasis teknologi namun tetap inklusif terhadap tenaga kerja manusia. Ini mencakup program pendidikan vokasional, pembukaan akses ke teknologi digital, serta insentif bagi perusahaan yang mendorong transformasi tenaga kerja secara bertanggung jawab.

AI Tidak Netral Gender: Kenapa Kita Harus Peduli?

Isu ini menyingkap kenyataan bahwa AI bukanlah entitas netral. Data pelatihan yang digunakan untuk membangun sistem AI bisa mencerminkan bias sosial yang ada, termasuk bias gender. Oleh karena itu, pengembangan teknologi ini harus dilakukan dengan pendekatan etis dan inklusif, agar tidak memperdalam ketimpangan yang sudah ada.

Jika tidak diantisipasi, dominasi AI di sektor-sektor tertentu dapat memperburuk ketimpangan gender di dunia kerja. Maka, langkah preventif seperti peningkatan akses perempuan pada bidang STEM (science, technology, engineering, and mathematics) serta pelibatan mereka dalam desain dan pengembangan teknologi menjadi krusial.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved