AI Makin Canggih tapi Boros Energi: Fakta Mengejutkan di Balik Konsumsi Listrik Teknologi Masa Depan
Tanggal: 28 Mei 2025 11:26 wib.
Perkembangan Artificial Intelligence (AI) semakin melesat dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi ini tidak hanya menjadi tren di kalangan perusahaan startup, tetapi juga telah menjadi fokus utama bagi raksasa teknologi dunia. Kecanggihan AI kini tidak terbatas pada sekadar menjawab pertanyaan sederhana, namun telah mampu menyelesaikan berbagai persoalan kompleks dengan akurasi tinggi.
Di balik semua kecanggihan itu, ada satu konsekuensi besar yang mulai mendapat sorotan para ilmuwan dan pakar teknologi: konsumsi energi listrik yang sangat tinggi. Seiring AI berkembang menjadi lebih kuat dan kompleks, kebutuhan daya komputasi pun melonjak, sehingga konsumsi listrik pun diproyeksikan akan meningkat tajam dalam waktu dekat.
Sebuah laporan dari Lawrence Berkeley National Laboratory memproyeksikan bahwa setengah dari total konsumsi listrik pusat data akan digunakan untuk AI pada tahun 2028. Angka ini mengejutkan karena menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari tiga tahun, penggunaan listrik oleh AI bisa mencapai 22% dari konsumsi listrik rumah tangga tahunan di seluruh Amerika Serikat.
Temuan ini dirangkum dalam laporan MIT Technology Review yang menunjukkan bagaimana setiap permintaan pengguna kepada model AI ternyata menyedot energi dalam jumlah besar—bahkan sering kali tidak disadari oleh pengguna itu sendiri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, terutama terkait emisi karbon dan sumber energi yang digunakan.
Permintaan terhadap layanan AI diproses di pusat data raksasa yang bekerja tanpa henti. Dalam proses ini, tidak hanya pemrosesan data yang membutuhkan energi besar, tetapi juga sistem pendinginan dan infrastruktur lainnya yang menyertainya. Ketika permintaan AI terus meningkat, banyak pusat data beralih menggunakan energi dari sumber yang lebih "kotor", seperti gas alam, demi memenuhi lonjakan permintaan secara cepat. Akibatnya, emisi karbon pun meningkat drastis.
MIT Technology Review memberikan gambaran konkret mengenai besarnya energi yang digunakan dalam satu sesi permintaan AI. Misalnya, jika seorang pengguna meminta model Llama 3.1 8B untuk menyusun jadwal dan rencana liburan, energi yang digunakan mencapai 57 joule, dan jika digabungkan dengan energi pendinginan serta proses lainnya, totalnya bisa mencapai 114 joule. Itu baru satu permintaan dari satu pengguna.
Kondisinya semakin ekstrem saat menggunakan model AI yang lebih besar dan kompleks. Untuk model Llama 3.1 405B, permintaan serupa dapat memakan energi hingga 3.353 joule, dan total keseluruhan mencapai 6.706 joule. Jumlah ini setara dengan menghidupkan microwave selama delapan detik hanya untuk satu perintah AI!
Penggunaan energi yang besar ini bukan hanya berlaku pada AI berbasis teks. AI yang menghasilkan konten visual seperti gambar dan video juga membutuhkan energi yang sangat tinggi. Sebagai contoh, menghasilkan gambar berukuran standar 1024x1024 piksel menggunakan Stable Diffusion 3 Medium, yang merupakan model populer dengan 2 miliar parameter, membutuhkan sekitar 1.141 joule energi GPU, dan total konsumsi energinya bisa mencapai 2.282 joule.
Untuk urusan video, konsumsi energinya jauh lebih besar. Peneliti AI, Sasha Luccioni, melalui uji coba menggunakan model pelacak karbon Code Carbon, menemukan bahwa pembuatan video pendek delapan frame per detik dengan resolusi kasar—mirip seperti format GIF—membutuhkan sekitar 109.000 joule energi. Dan ketika model digunakan untuk menghasilkan video berdurasi lima detik dalam resolusi lebih baik, konsumsi energi melonjak hingga 3,4 juta joule, yang setara dengan menyalakan microwave selama satu jam penuh!
Melihat data ini, menjadi jelas bahwa di balik setiap interaksi kita dengan teknologi AI, ada biaya lingkungan yang cukup besar. Kecanggihan teknologi memang memberi banyak manfaat, tetapi dibutuhkan pendekatan berkelanjutan untuk mengelola dampak buruknya, terutama terhadap lingkungan.
Hal ini mendorong perdebatan besar di kalangan ilmuwan, pengembang teknologi, dan pemerhati lingkungan mengenai bagaimana mengimbangi kemajuan teknologi dengan prinsip keberlanjutan energi. Jika tidak dikendalikan dengan bijak, ledakan penggunaan AI bisa mempercepat krisis energi global dan memperburuk perubahan iklim.
Kini, perusahaan teknologi harus berpikir dua kali dalam membangun dan menjalankan sistem AI berskala besar. Efisiensi energi harus menjadi salah satu indikator utama keberhasilan AI ke depan, bukan hanya kecepatan dan kemampuannya menjawab permintaan manusia. Inovasi yang hemat daya dan ramah lingkungan akan menjadi kunci utama agar AI bisa berkembang tanpa merusak bumi yang kita huni.
Konsumen pun diharapkan lebih sadar bahwa setiap pertanyaan yang diketikkan ke chatbot AI atau setiap gambar yang dihasilkan oleh generator visual bukanlah tindakan bebas konsekuensi. Ada energi yang terpakai dan emisi yang tercipta.
Maka dari itu, kesadaran kolektif antara pengembang, perusahaan teknologi, pengguna, dan pemerintah menjadi sangat penting. Kita sedang menghadapi era baru di mana teknologi cerdas membutuhkan energi besar, dan hanya dengan tanggung jawab bersama, kecanggihan AI dapat sejalan dengan pelestarian lingkungan.