AI Makin Canggih, Apakah Pekerja Indonesia Siap atau Justru Tersingkir?
Tanggal: 13 Mei 2025 23:49 wib.
Tampang.com | Dari layanan pelanggan berbasis chatbot hingga sistem rekrutmen otomatis, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah berbagai sektor di Indonesia. Pemerintah dan pelaku industri menyebut ini sebagai lompatan teknologi, tapi bagi sebagian pekerja, ini justru menjadi sinyal ancaman.
Bukan Sekadar Tren, Tapi Perubahan Struktural
AI bukan hanya alat bantu, tapi sistem yang bisa menggantikan fungsi manusia. Beberapa perusahaan logistik, perbankan, hingga media telah mulai mengotomatisasi sejumlah pekerjaan. Tak sedikit pekerja administrasi dan staf layanan yang pelan-pelan ‘digantikan’ sistem AI.
“AI mengubah struktur ketenagakerjaan. Yang dulu dianggap aman kini bisa hilang dalam hitungan tahun,” ujar Dicky Maulana, ekonom digital dari Universitas Indonesia.
Jika tak diantisipasi, hal ini bisa memperparah pengangguran terselubung, terutama bagi pekerja dengan keterampilan menengah ke bawah.
Indonesia Masih Minim Kesiapan SDM
Salah satu persoalan besar adalah kesiapan tenaga kerja. Laporan World Economic Forum menempatkan Indonesia di posisi cukup rendah dalam indeks kesiapan transformasi digital, khususnya dalam hal reskilling dan upskilling.
“Mayoritas pekerja kita belum punya kompetensi digital dasar, apalagi untuk bersaing di era AI,” kata Dicky.
Di sisi lain, sekolah dan universitas masih belum banyak yang menyisipkan kurikulum teknologi berbasis kecerdasan buatan secara praktis.
Manfaat AI Masih Dikuasai Korporasi Besar
Sementara AI memberi efisiensi luar biasa bagi pelaku industri besar, UMKM dan sektor informal justru tertinggal. Tak banyak platform AI yang terjangkau atau relevan bagi pelaku usaha kecil.
“Ketimpangan akses terhadap teknologi seperti AI bisa memperlebar jurang ekonomi,” tambah Dicky.
Tanpa kebijakan distribusi teknologi yang adil, hanya segelintir pihak yang menikmati kemajuan, sementara mayoritas masyarakat tertinggal.
Solusi: Literasi Digital dan Regulasi Etis
Pemerintah perlu mengembangkan strategi nasional AI yang berpihak pada keadilan sosial. Ini termasuk pelatihan masif bagi pekerja, integrasi kurikulum AI sejak pendidikan menengah, serta regulasi yang mencegah monopoli teknologi.
“AI tidak bisa dihentikan, tapi bisa diarahkan. Yang dibutuhkan adalah kesiapan manusia, bukan hanya kesiapan mesin,” pungkas Dicky.