Sumber foto: iStock

AI: Harapan atau Bencana? Greenpeace Ungkap Ledakan Emisi Karbon dari Industri Chip yang Mengancam Masa Depan Bumi

Tanggal: 12 Apr 2025 21:48 wib.
Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama ini dipuja sebagai kunci masa depan umat manusia. Ia menjanjikan kemajuan dalam berbagai bidang, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Namun, laporan terbaru dari organisasi lingkungan internasional Greenpeace justru mengungkapkan sisi gelap dari revolusi teknologi ini—yang berpotensi menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup Bumi.

Dalam laporan mendalam yang dirilis awal April 2025, Greenpeace menyoroti lonjakan emisi karbon yang sangat signifikan dari sektor produksi semikonduktor, yaitu komponen utama yang menggerakkan teknologi AI. Sepanjang tahun 2024 saja, emisi dari industri ini meningkat lebih dari empat kali lipat, sebuah angka yang mengkhawatirkan.

Greenpeace melakukan analisis berdasarkan data dari berbagai perusahaan serta sumber terbuka. Hasilnya memperlihatkan bahwa sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Nvidia dan Microsoft menjadi kontributor besar terhadap peningkatan jejak karbon, karena ketergantungan mereka pada pemasok chip seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), SK Hynix, Samsung Electronics, dan Micron Technology.

“Industri AI telah bertransformasi menjadi penyumbang utama emisi karbon global,” tulis Greenpeace dalam laporan mereka. Klaim tersebut bukan tanpa dasar, mengingat sebagian besar produsen chip AI berada di negara-negara dengan ketergantungan tinggi terhadap bahan bakar fosil, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.

Menurut data yang dihimpun, lebih dari 83% listrik di Taiwan masih berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sementara itu, di Jepang dan Korea Selatan, angkanya masing-masing mencapai 68,6% dan 58,5%. Hal ini menyebabkan setiap lonjakan permintaan listrik dari industri chip—yang sangat boros energi—langsung berdampak besar terhadap peningkatan emisi karbon.

Ironisnya, meskipun produsen seperti TSMC mengklaim bahwa emisi per unit produksi mereka turun pada 2024, total emisi mereka justru melonjak secara keseluruhan. Artinya, pertumbuhan volume produksi jauh lebih tinggi dibandingkan efisiensi yang berhasil dicapai.

Lebih mengkhawatirkan lagi, untuk memenuhi kebutuhan listrik yang melonjak tajam dari industri chip, sejumlah negara di Asia Timur justru mengambil langkah yang bertentangan dengan semangat energi hijau. Korea Selatan, misalnya, tengah merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas alam cair (LNG) sebesar 4 gigawatt di kawasan industri semikonduktor. Taiwan juga telah mengusulkan pembangunan terminal LNG baru, dengan tujuan utama menjamin pasokan listrik yang stabil untuk sektor chip.

Laporan Greenpeace mencatat bahwa emisi karbon global dari industri chip AI melonjak sebesar 357% pada 2024, bahkan melampaui lonjakan konsumsi listrik yang juga luar biasa tinggi, yakni sebesar 351%. Hal ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi bersih dalam industri AI belum berjalan sebagaimana mestinya, bahkan justru berpotensi menunda pencapaian target dekarbonisasi global.

Greenpeace bahkan menyindir optimisme berlebihan para tokoh besar di industri teknologi yang selama ini mempromosikan AI sebagai solusi perubahan iklim. Salah satunya adalah Bill Gates, yang dikenal sebagai pendukung berat teknologi hijau dan AI. Namun dalam laporan tersebut, Greenpeace dengan tegas menyebut bahwa kenyataan di lapangan justru sebaliknya.

“Ledakan AI saat ini mengancam upaya-upaya dekarbonisasi yang telah dicanangkan oleh perusahaan-perusahaan teknologi terbesar di dunia,” tulis mereka. Klaim ini memperlihatkan adanya konflik antara ambisi pertumbuhan teknologi dan keberlanjutan lingkungan.

Sementara itu, Jepang menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam peningkatan intensitas emisi, seiring dengan berkembang pesatnya industri chip di negara tersebut. Negeri Sakura memang sedang gencar mendorong produksi semikonduktor dalam negeri sebagai bagian dari strategi ketahanan teknologi, namun sayangnya belum dibarengi dengan langkah-langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Kondisi ini membuat banyak pihak mulai mempertanyakan: Apakah perkembangan AI benar-benar sejalan dengan prinsip keberlanjutan? Jika tidak segera ditangani, ketergantungan besar AI terhadap hardware dan pasokan listrik intensif justru bisa membawa dunia semakin jauh dari target iklim global.

Di tengah sorotan terhadap isu ini, para pemerhati lingkungan mendesak agar pemerintah dan korporasi mengambil tindakan nyata, bukan hanya sekadar komitmen di atas kertas. Transparansi data emisi, investasi serius dalam energi terbarukan, serta inovasi teknologi hemat energi menjadi tiga langkah utama yang sangat dibutuhkan saat ini.

AI memang punya potensi luar biasa untuk memecahkan masalah besar dunia, namun tanpa kontrol yang tepat, justru bisa menjadi pemicu krisis baru. Saat dunia tengah berlomba dalam mengembangkan teknologi masa depan, jangan sampai kita lupa untuk menjaga rumah yang kita tinggali bersama—planet Bumi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved