AI, Emisi, dan Suhu Bumi Makin Panas: Apakah Kecerdasan Buatan Menyelamatkan atau Justru Membinasakan?
Tanggal: 25 Apr 2025 10:53 wib.
Bumi semakin panas, dan data terbaru yang dirilis oleh Copernicus – lembaga observasi iklim milik Uni Eropa – mencatat bahwa Januari 2025 adalah bulan Januari terpanas sepanjang sejarah. Suhu rata-rata permukaan global tercatat sebesar 13,23°C, yang berarti 0,79°C lebih tinggi dari rata-rata Januari selama periode 1991 hingga 2020. Yang lebih mencemaskan, suhu ini juga 1,75°C lebih tinggi dibandingkan era pra-industri, memperlihatkan betapa seriusnya ancaman perubahan iklim.
Awal tahun 2025 menjadi penanda bahwa selama 18 dari 19 bulan terakhir, suhu rata-rata global secara konsisten melampaui ambang batas 1,5°C dari era pra-industri. Ini adalah sinyal jelas bahwa krisis iklim sedang berlangsung secara nyata di hadapan mata kita.
Krisis Iklim dan Peran Emisi Karbon
Penyebab utama pemanasan global adalah emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya yang berasal dari aktivitas manusia. Dunia telah lama diserukan untuk menekan emisi ini demi memperlambat laju kenaikan suhu global. Namun, di saat kita berjuang keras untuk mengurangi emisi, muncul tantangan baru dari arah yang tak terduga: teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
AI memang membawa harapan besar dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari efisiensi energi, peningkatan produktivitas, hingga pengembangan inovasi baru. Akan tetapi, kemajuan AI juga membutuhkan infrastruktur yang sangat intensif energi, terutama pusat data (data center) yang menjadi tulang punggungnya. Permintaan listrik untuk menjalankan model-model AI skala besar diperkirakan akan melonjak tajam, yang berarti lebih banyak energi dibakar dan lebih banyak emisi karbon dilepaskan ke atmosfer.
AI: Antara Harapan Ekonomi dan Ancaman Lingkungan
Dalam laporan terbarunya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyampaikan pandangan yang cukup mengejutkan. Mereka menyebut bahwa perkembangan teknologi AI berpotensi meningkatkan produksi barang dan jasa secara global sebesar 0,5% antara tahun 2025 dan 2030. Pertumbuhan ini dinilai lebih besar dari biaya yang harus ditanggung akibat peningkatan emisi yang dihasilkan oleh teknologi tersebut.
Namun, IMF juga menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dari AI tidak akan terjadi secara merata di seluruh dunia. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku industri diminta untuk menurunkan hambatan dan biaya agar manfaat AI bisa tersebar lebih adil ke berbagai negara, termasuk negara berkembang.
Dalam dokumen bertajuk "Power Hungry: How AI Will Drive Energy Demand", IMF menyebut bahwa meskipun biaya sosial dari emisi tambahan tergolong kecil dibandingkan dampak ekonominya, kekhawatiran terhadap lonjakan emisi tetap relevan. AI membutuhkan infrastruktur besar—yang dalam konteks pusat data di Virginia Utara saja, luas bangunannya setara dengan delapan lantai Gedung Empire State.
Lonjakan Permintaan Listrik dan Emisi Tambahan
Laporan IMF mengungkap bahwa pada tahun 2030, kebutuhan listrik global untuk menjalankan AI diperkirakan mencapai lebih dari 1.500 terawatt-hours (TWh), atau lebih dari tiga kali lipat dari kapasitas saat ini. Angka ini bahkan 1,5 kali lebih besar dari kebutuhan listrik kendaraan listrik secara global. Kenaikan ini tentu akan membawa konsekuensi besar bagi iklim, jika tidak diimbangi dengan transisi ke energi bersih.
Diperkirakan, AI akan menyumbang peningkatan emisi gas rumah kaca sekitar 1,2% selama periode 2025–2030. Meski kelihatannya kecil, angkanya setara dengan 1,3 gigaton karbon dioksida. Jika dikonversi ke nilai moneter, dengan menggunakan harga US$39 per ton karbon, maka biaya sosial dari emisi ini bisa mencapai US$50,7 hingga US$66,3 miliar.
Namun menurut IMF, nilai ini masih tergolong rendah dibandingkan manfaat ekonomi yang diproyeksikan, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global yang lebih signifikan.
Harapan Ada, Tapi Tak Bisa Diserahkan ke Pasar Bebas
Meski demikian, banyak ahli independen menilai bahwa dampak lingkungan dari AI sangat bergantung pada bagaimana teknologi ini diterapkan. AI bisa saja berkontribusi positif terhadap pengurangan emisi karbon—misalnya dengan meningkatkan efisiensi energi, mempercepat pengembangan teknologi rendah karbon, serta mengoptimalkan sistem transportasi dan pangan.
The Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment menyatakan bahwa AI dapat menjadi kekuatan transformatif untuk solusi iklim. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa kekuatan pasar saja tidak cukup untuk mengarahkan penggunaan AI menuju tujuan yang berkelanjutan.
Roberta Pierfederici, peneliti dari Grantham Institute, menekankan bahwa pemerintah, perusahaan teknologi, dan sektor energi harus mengambil peran aktif untuk memastikan AI digunakan dengan tanggung jawab. Ia juga menyoroti pentingnya pendanaan riset dan kebijakan publik yang mendukung kesetaraan dalam manfaat AI serta pengurangan dampak buruknya terhadap lingkungan.
Kesimpulan: Masa Depan Ada di Persimpangan
Kita kini berada di titik kritis di mana teknologi dan lingkungan harus berjalan beriringan. AI adalah alat yang kuat—namun seperti semua alat, dampaknya bergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa. Jika diarahkan dengan benar, AI bisa menjadi senjata melawan krisis iklim. Namun jika dibiarkan berkembang tanpa kendali, ia bisa memperburuk keadaan dan mempercepat kehancuran planet.
Langkah berikutnya harus diambil bersama—oleh pembuat kebijakan, ilmuwan, industri teknologi, dan masyarakat global—agar teknologi canggih ini benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar sumber masalah baru.