AI dan Krisis Lingkungan: Apakah Kecerdasan Buatan Sedang Menguras Bumi Diam-Diam?
Tanggal: 13 Jun 2025 11:19 wib.
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) memang menjanjikan revolusi besar bagi kehidupan manusia, mulai dari produktivitas kerja hingga efisiensi industri. Namun, di balik janji tersebut, tersimpan ancaman yang tidak bisa diabaikan: dampak lingkungan yang masif. Salah satu sorotan terbaru datang dari pernyataan Sam Altman, CEO OpenAI, yang secara terbuka mengungkapkan seberapa besar konsumsi listrik dan air dari sistem AI seperti ChatGPT.
Dalam blog pribadinya yang dirilis Selasa (10/6/2025), Altman menyebut bahwa satu perintah atau prompt di ChatGPT mengonsumsi sekitar 0,34 Wh listrik, setara dengan menyalakan lampu LED hemat energi selama beberapa menit. Ia juga mengklaim bahwa sistem pendingin untuk satu prompt ChatGPT hanya membutuhkan 0,000085 galon air—kurang lebih seperlima sendok teh.
Perhitungan Kecil yang Menyimpan Krisis Besar
Sekilas, angka-angka tersebut terdengar kecil dan tidak signifikan. Namun, jika dikalikan dengan skala penggunaan ChatGPT secara global, gambaran yang muncul menjadi sangat berbeda. Berdasarkan data internal OpenAI yang dikutip Gizmodo, ChatGPT memiliki 300 juta pengguna aktif mingguan dan menerima sekitar 1 miliar pesan per hari.
Jika merujuk pada metrik Altman, maka sistem ini menyedot sekitar 85.000 galon air per hari, atau lebih dari 31 juta galon air per tahun—semua demi menjalankan perintah teks dari pengguna. Ini belum termasuk energi listrik untuk pemrosesan data yang terus meningkat seiring dengan evolusi model AI.
Data Center Haus Air dan Energi
Selama ini, data center telah dikenal sebagai fasilitas yang “haus” air dan energi, bahkan sebelum kehadiran model AI generatif seperti GPT-4. Fasilitas milik Microsoft, mitra utama OpenAI, menjadi sorotan karena tingginya konsumsi air untuk sistem pendinginnya.
Microsoft memang berencana membangun sistem pendingin tertutup yang lebih ramah lingkungan. Namun, proyek ini belum akan dijalankan secara masif hingga paling cepat tahun depan. Dalam jangka pendek, penggunaan energi dan air akan terus melonjak, terutama karena model AI terus diperbarui dan diperluas untuk menangani berbagai tugas kompleks.
Studi Lama yang Kembali Mencuat
Sebelumnya, peneliti dari University of California pernah mengungkap bahwa versi lawas GPT-3 menghabiskan 0,5 liter air untuk setiap 10 hingga 50 pertanyaan. Jika data tersebut dikalibrasi secara optimis, maka total konsumsi air bisa mencapai 31 juta liter per hari, atau sekitar 8,18 juta galon per hari. Dan itu hanya untuk GPT-3—bukan GPT-4.1 atau GPT-4o terbaru yang jauh lebih besar dan kompleks.
Model AI modern tidak hanya memerlukan pelatihan awal, tetapi juga pelatihan berulang atau retraining secara berkala agar tetap relevan. Ini memperparah kebutuhan energi dan air yang pada akhirnya berkontribusi terhadap percepatan perubahan iklim dan potensi krisis lingkungan.
Altman Dianggap Meremehkan Masalah
Meski data yang ia rilis menunjukkan konsumsi energi dan air, Sam Altman tampak mengemasnya dengan nada optimis dan teknologis. Ia bahkan mengatakan bahwa pada akhirnya biaya menjalankan AI akan semurah biaya listrik, karena sistem produksi dan pengelolaan data center akan sepenuhnya otomatis.
Namun, kritik datang dari banyak pihak. Gizmodo, media teknologi terkemuka, menyebut pernyataan Altman sebagai cerminan dari arogansi oligarki teknologi yang enggan mengakui dampak ekologis dari inovasi mereka. Terlebih, pernyataan Altman dinilai tanpa dukungan data ilmiah yang lengkap, dan OpenAI sendiri belum memberikan respons atas permintaan klarifikasi lebih lanjut.
Solusi yang Tak Ramah Lingkungan?
Beberapa perusahaan teknologi besar mencoba mencari solusi. Ada yang berniat menenggelamkan data center ke dasar laut, sementara yang lain ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir khusus untuk AI. Namun, proyek-proyek ini belum berjalan dan masih membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga dapat terealisasi.
Sementara itu, dalam waktu dekat, data center akan tetap bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil, yang berkontribusi pada pemanasan global dan semakin menambah tekanan terhadap ketersediaan air bersih dan energi.
Bukan Hanya Soal Lingkungan
Yang membuat pernyataan Altman makin kontroversial adalah komentarnya tentang dampak sosial dari AI. Ia menyebut bahwa seluruh kelas pekerjaan akan punah, tapi tidak menjadi masalah karena AI akan menciptakan kekayaan baru. Ia juga mengusulkan agar manusia di masa depan mulai mempertimbangkan pendapatan dasar universal (UBI) sebagai bentuk kompensasi atas pekerjaan yang digantikan oleh AI.
Namun, menurut laporan Gizmodo yang ditulis Kyle Barr, OpenAI tak pernah serius mendorong implementasi UBI. Bahkan disebut-sebut mendekati tokoh politik seperti Donald Trump demi memastikan tidak ada regulasi ketat terhadap industri AI.
Masa Depan yang Dipertaruhkan
Altman mengakui bahwa masalah keamanan AI memang penting, tetapi ia tetap menekankan bahwa AI harus diintegrasikan dalam segala aspek kehidupan. Ia percaya bahwa AI pada akhirnya akan membantu menyelesaikan berbagai krisis, termasuk krisis lingkungan.
Namun skeptisisme terus berkembang. Seperti yang ditulis Kyle Barr:
"Jika suhu bumi terus meningkat dan kita membutuhkan lebih banyak air dan listrik untuk mendinginkan data center ini, saya meragukan AI bisa bekerja cukup cepat untuk memperbaiki semuanya sebelum terlambat."
Dengan laju perkembangan yang sangat cepat dan kebutuhan sumber daya yang begitu besar, banyak pihak khawatir bahwa AI bisa menjadi beban lingkungan sebelum sempat menjadi penyelamatnya.
Kesimpulan
Di tengah euforia kecanggihan teknologi AI, kita tidak bisa menutup mata dari biaya lingkungan yang harus dibayar. Konsumsi listrik dan air dalam jumlah besar, ketergantungan pada energi fosil, serta potensi krisis iklim harus menjadi bagian dari diskusi besar tentang masa depan AI.
Transparansi, akuntabilitas, dan regulasi yang tepat harus segera dihadirkan agar kecerdasan buatan tidak berubah menjadi ancaman yang justru mempercepat kerusakan bumi yang kita tinggali.