Terungkap Alasan Yudha Arfandi Pukul Telinga Tamara Tyasmara saat Cekcok
Tanggal: 3 Sep 2024 19:30 wib.
Dalam sidang kasus kematian Dante, Yudha Arfandi, melalui pengacaranya, Daliun Sailan, memberikan penjelasan mengapa dia memukul telinga Tamara Tyasmara ketika terjadi cekcok. Menurut Daliun, tindakan kliennya tersebut dilakukan untuk meredam kemarahan Tamara saat keduanya berselisih. Dalam pernyataannya kepada wartawan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Daliun menyatakan, "Hal tersebut sudah diakui bahwa cedera telinga benar terjadi. Karena Tamara tidak berhenti berbicara, sering melakukan tantrum, itulah yang membuat Yudha kesal dan memutuskan untuk memukul."
Selain itu, salah satu saksi yang memberatkan terdakwa juga mengatakan bahwa cedera pada kaki Tamara merupakan akibat dari perilakunya sendiri yang sering tantrum dan merusak barang-barang di rumah Yudha. "Adapun cedera pada kakinya tadi, saksi mengatakan bahwa itu disebabkan oleh tindakan Tamara yang merusak TV, memecahkan gelas, yang akhirnya menyebabkan cedera pada dirinya sendiri," ujar Daliun.
Daliun juga menambahkan, "Cedera biru-biru pada paha pun tidak diakui bahwa itu adalah hasil dari tindakan kekerasan. Mungkin itu terjadi karena kemarahan Tamara."
Menurut saksi dari pihak Yudha Arfandi, Tamara sering datang ke rumah terdakwa dalam keadaan mabuk. Dalam keadaan tantrum, Daliun mengatakan bahwa Tamara hanya bisa merasa tenang ketika bersama dengan ayah angkatnya. "Iya, setelah pulang ke rumah Yudha dalam keadaan mabuk, sudah jam 3 malam, dia mengalami tantrum yang tidak bisa dihentikan kecuali ada ayah angkatnya," ungkap Daliun.
Dari kasus ini, terlihat adanya konflik yang kompleks antara Yudha Arfandi dan Tamara Tyasmara. Konflik tersebut tampaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kemarahan, perilaku konsumsi alkohol, serta kondisi emosional Tamara yang memicu perilaku tantrum.
Berbagai kesaksian dan pengakuan yang muncul dalam persidangan ini menggambarkan betapa pentingnya pemahaman dan pengelolaan emosi dalam hubungan antar pasangan. Konflik yang tidak teratasi dengan baik dapat berujung pada kekerasan dan cedera fisik, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Menurut psikolog, penanganan konflik dalam hubungan perlu dilakukan dengan bijak dan empati. Pasangan perlu belajar untuk mengelola emosi, menggunakan komunikasi yang efektif, serta mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Selain itu, jika salah satu pihak mengalami masalah dalam mengendalikan emosi atau perilaku destruktif, perlu ada dukungan dan bantuan yang tepat, baik dari keluarga, teman, maupun profesional kesehatan mental.
Pemerintah dan lembaga terkait juga perlu memperkuat sistem pendampingan dan perlindungan bagi korban kekerasan dalam hubungan, serta memberikan edukasi yang lebih luas mengenai hak-hak dan perlindungan bagi semua individu, terutama dalam konteks hubungan intim. Kejadian seperti kasus kematian Dante dan cedera pada Tamara perlu menjadi peringatan bagi masyarakat tentang pentingnya penanganan konflik secara sehat dan bertanggung jawab.
Kasus ini juga menjadi momentum untuk memperjuangkan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan dalam hubungan, sekaligus mengajak semua pihak untuk turut serta membangun kesadaran akan pentingnya sikap toleransi, penghargaan, dan pengelolaan emosi dalam relasi interpersonal. Dengan demikian, diharapkan kasus serupa dapat diminimalkan, dan masyarakat bisa hidup dalam hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang.