Komnas Uraikan Kerentanan Perempuan Menikah Beda Warga Negara: Amy BMJ Seorang Warga Negara Asing (WNA) Asal Korea Dan Aden Wong asal Singapura
Tanggal: 15 Mar 2024 10:17 wib.
Perkawinan beda warga negara atau campuran, seperti yang terjadi pada rumah tangga Amy BMJ, seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Korea, dan suaminya, Aden Wong asal Singapura, telah menjadi polemik yang menarik perhatian publik. Dalam konteks ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa pernikahan semacam ini sering kali membawa berbagai kerentanan, terutama bagi perempuan yang terlibat di dalamnya.
Menurut Komnas Perempuan, perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan WNA sering kali melibatkan kerentanan yang serius bagi pihak perempuan. Dari kasus-kasus yang pernah diadukan ke Komnas Perempuan terkait perkawinan campuran, terungkap bahwa perempuan dalam perkawinan semacam ini mengalami berbagai bentuk kerentanan secara berlapang.
Salah satu kerentanan yang sering dihadapi oleh perempuan dalam perkawinan beda warga negara adalah terkait dengan legalitas dan hak-hak hukum. Karena adanya perbedaan status kewarganegaraan antara suami dan istri, seringkali perempuan dalam perkawinan campuran akan menghadapi kendala dalam mendapatkan hak-hak hukumnya, terutama dalam situasi ketika terjadi konflik rumah tangga atau perceraian. Selain itu, terdapat kerentanan terhadap masalah administratif, seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan sosial.
Tidak hanya itu, aspek sosial dan budaya juga menjadi sumber kerentanan bagi perempuan dalam perkawinan beda warga negara. Perbedaan budaya, bahasa, dan norma-norma sosial antara suami dan istri dari negara yang berbeda seringkali memunculkan masalah dalam komunikasi dan integrasi sosial di dalam keluarga. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional dan psikologis perempuan.
Kerentanan yang timbul juga mencakup aspek ekonomi, di mana perempuan dalam perkawinan campuran seringkali mengalami ketergantungan ekonomi yang tinggi pada suami, terutama dalam situasi di mana perempuan tersebut tidak memiliki izin kerja atau akses terhadap pekerjaan yang layak sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya. Hal ini memberikan kontrol yang lebih besar pada pihak suami dalam menentukan kondisi kehidupan perempuan tersebut.
Dalam konteks rumah tangga Amy BMJ, polemik yang terjadi menunjukkan betapa pentingnya memahami dan mengatasi kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dalam perkawinan beda warga negara. Kasus semacam ini memerlukan pendekatan yang holistic dan menyeluruh baik dari pemerintah, lembaga perlindungan perempuan, maupun masyarakat secara luas. Perlindungan hukum, dukungan psikososial, pendekatan interkultural, dan penguatan ekonomi perempuan merupakan langkah-langkah penting yang perlu ditekankan dalam menangani kerentanan yang terkait dengan perkawinan campuran.
Dengan demikian, perlu adanya komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa perempuan dalam perkawinan beda warga negara dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan yang aman, adil, dan berkeadilan. Hanya dengan demikian, polemik rumah tangga semacam yang terjadi pada rumah tangga Amy BMJ dapat diatasi, dan perempuan dalam perkawinan campuran dapat hidup tanpa harus merasa terpinggirkan atau rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan.
Melalui pemahaman yang mendalam atas kerentanan yang dihadapi perempuan dalam perkawinan beda warga negara, serta upaya konkret dalam melakukan perlindungan dan pemberdayaan, diharapkan dapat menciptakan kondisi yang lebih baik bagi perempuan di dalam konteks perkawinan campuran. Dengan demikian, setiap perempuan, tanpa terkecuali, dapat merasakan keadilan, kesetaraan, dan martabat sebagai manusia yang dihormati dan dilindungi hak-haknya.