Inara Rusli Akui Sakit Hati saat Jadi Istri Virgoun, Kini Lebih Bahagia
Tanggal: 19 Nov 2024 09:33 wib.
Inara Rusli berbagi pengalaman mengenai kehidupannya saat masih menjadi istri dari Virgoun. Inara mengakui pernah terjebak dalam pernikahan yang toksik saat bersama mantan suaminya itu karena ada kata-kata yang menyakiti hatinya dan dilontarkan oleh keluarga.
Ketika menjadi narasumber dalam sebuah program di stasiun televisi, Inara menjelaskan bahwa kalimat-kalimat yang didengarnya itu seolah menyalahkan dirinya sebagai seorang wanita ketika menjalani kehidupan rumah tangga. Sebagai seorang istri, Inara dianggap tidak mampu ketika mengurus suaminya.
"Perasaan sakit hati ini pernah datang dari keluarga, bahkan aku mendengar omongan itu dari keluarga, keluarga sendiri," kata Inara Rusli dikutip Minggu (17/11/2024).
Inara mengaku merasa terluka saat mendengar omongan tersebut. Dia merasakan dengan jelas bahwa di Indonesia, seolah-olah adalah hal yang biasa bahwa seorang wanita seringkali menjadi pihak yang disalahkan atau yang kerap disebut sebagai toksik patriarki.
"Walaupun sakit hati, namun aku berusaha untuk memaklumi bahwa memang di Indonesia paradigma ini masih sangat bersifat patriarki, mungkin bahkan lebih condong kepada toksik patriarki," katanya.
Salah satu pertanyaan yang paling menyakitkan adalah mengenai masalah hubungan intimnya dengan Virgoun. Padahal sebagai seorang istri, Inara tentu memahami cara terbaik untuk melayani suaminya.
"(Ditanya) 'Apakah kamu melayaninya dengan baik?'. Ya, itu cukup menyedihkan. Melayani bukanlah menjadi istri, tentu kamu tahu hal tersebut, kan," katanya.
"Sepertinya apabila masalah pelayanan, aku rasa tidak perlu diajarkan, bukan begitu? Aku juga dulu merupakan anggota girl band, aku tahu cara menghibur orang," tambahnya.
Setelah setahun berpisah dengan Virgoun, sambil tersenyum-senyum Inara mengaku bahwa dirinya kini merasa lebih bahagia karena tidak lagi merasa terbebani.
"Sekarang saya merasa bahagia. Beban pikiran dan beban tugas rumah tangga berkurang," ucapnya.
Inara mengaku bahwa proses belajar menjadi lebih mandiri dan menerima diri sendiri setelah perceraian adalah sebuah pengalaman yang berharga baginya. Dia sadar bahwa kebahagiaan tidak semata-mata bergantung pada kehadiran seseorang dalam hubungan, tetapi juga pada bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri.
Hal ini menggambarkan bahwa wanita dalam konteks sosial di Indonesia masih sering dihadapkan pada ekspektasi yang tidak adil. Pemikiran bahwa perempuan harus menanggung semua tanggung jawab dalam rumah tangga dan dalam menjaga hubungan pernikahan sering kali menjadi beban yang berat bagi mereka. Perjuangan Inara merupakan cerminan dari banyaknya perempuan yang harus memperjuangkan hak-hak mereka sebagai individu dalam hubungan perkawinan.
Melalui pengalaman pahit yang diakui Inara ini, perempuan di Indonesia diharapkan dapat lebih bebas menjalani kehidupan dengan cara yang mereka pilih tanpa harus selalu mengikuti pola pikir patriarki yang membatasi. Karena pada akhirnya, kebahagiaan dan keberhasilan seseorang tidak boleh diukur dari seberapa baik mereka dapat memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi dari bagaimana mereka mampu menjalani hidup dengan kejujuran dan ketulusan.
Selain itu, upaya untuk menghilangkan stigma terkait dengan perceraian juga harus diperjuangkan. Perceraian bukanlah kegagalan, melainkan pilihan yang diambil untuk meraih kebahagiaan yang lebih baik. Masyarakat perlu lebih memberikan dukungan kepada individu yang memutuskan untuk bercerai, bukan menyalahkan dan menghakimi mereka.
Kisah hidup Inara Rusli memperlihatkan bahwa perempuan harus mendapatkan ruang untuk merangkul kebahagiaan mereka sendiri tanpa harus terjebak dalam pola pikir yang memicu toksisitas dalam hubungan intim dan pernikahan. Kehidupan seseorang tidak sepenuhnya menjadi urusan orang lain, dan setiap individu berhak untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan keinginan dan kebahagiaan pribadinya.
Memperjuangkan kesejahteraan perempuan dalam konteks rumah tangga dan pernikahan adalah sebuah tugas yang harus diemban oleh semua pihak, baik itu pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga sosial. Hanya dengan upaya bersama, perempuan di Indonesia dapat meraih kehidupan yang lebih damai, sejahtera, dan penuh kebahagiaan tanpa harus merasa tercekik oleh ekspektasi yang tidak realistis.