Elon Musk Ternyata Imigran Gelap, Status Warga Negara AS Bisa Dicabut
Tanggal: 3 Nov 2024 21:44 wib.
Elon Musk, seorang tokoh terkenal dalam industri teknologi dan otomotif, baru-baru ini menjadi sorotan karena masalah imigrasi yang mempengaruhi kewarganegaraannya di Amerika Serikat. Musk, yang merupakan pendiri Tesla dan SpaceX, lahir di Afrika Selatan sebelum akhirnya menetap di AS dan menjadi warga negara di sana. Namun, kini ia dihadapkan pada ancaman pencabutan kewarganegaraannya dan bahkan tuntutan pidana karena diduga melanggar proses imigrasi.
Bloomberg melakukan analisis yang mengungkapkan bahwa Musk telah melakukan sekitar 1.300 postingan tentang imigrasi dan penipuan pemilih. Banyak dari postingan tersebut mempromosikan teori konspirasi serta menyebarkan informasi yang salah terkait dengan imigrasi. Selain itu, Musk juga dikenal telah memberikan dukungan finansial dalam jumlah besar untuk kampanye politik di AS, termasuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS.
Namun, hal yang mengejutkan adalah fakta bahwa Musk sendiri pernah bekerja secara ilegal di Amerika Serikat pada tahun 1990-an, seperti dilaporkan oleh The Washington Post. Pada saat itu, ia bekerja tanpa izin, yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan status imigrasinya.
Pada tahun 1996, ia bahkan terlibat dalam kesepakatan pendanaan di perusahaan rintisan, di mana ia dan saudaranya, Kimbal, dinyatakan sebagai "imigran ilegal" yang memperoleh izin untuk bekerja di AS yang sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini diamini oleh anggota dewan perusahaan tempat ia bekerja saat itu.
Meskipun Musk membantah pernah bekerja secara ilegal di AS, bukti-bukti dan laporan yang ada menunjukkan sebaliknya. Bahkan, dalam email yang diakui sebagai bukti dalam kasus pencemaran nama baik, ia mengakui bahwa ia tidak memiliki hak hukum untuk tinggal di AS saat tersebut.
Dalam konteks hukum imigrasi AS, bekerja tanpa izin dan memberikan informasi palsu atau menyesatkan selama proses imigrasi merupakan tindakan melanggar hukum yang dapat berkonsekuensi serius, termasuk ancaman pencabutan kewarganegaraan.
Profesor hukum Stephen Yale-Loehr dari Sekolah Hukum Cornell menyatakan bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi dasar hukum untuk mencabut kewarganegaraan, meskipun hal ini memang mengandalkan interpretasi dan pengaplikasian hukum yangada.