Review Film Ayat Ayat Cinta 2
Tanggal: 23 Des 2017 08:41 wib.
Review Film Ayat-Ayat Cinta 2
Film ini dalah salah satu film Indonesia yang banyak ditunggu oleh para penikmat film. Selain karena penasaran menantikan bagaimana kisah Fahri dan Aisha, juga karena film ini bertabur bintang. Sebut saja Chelsea Islan, Tatjana Saphira, Dewi Sandra, dan tentu saja Fedi Nuril sebagai pemeran utama prianya.
Film ini, masih sama seperti film pertamanya mengambil setting cerita di luar negeri. Film AAC2 ini mengambil setting sebagian besar di Edinburgh. Dikisahkan Fahri bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di sana. Film ini menggambarkan betapa kehidupan seorang minoritas di negeri orang. Sebagai muslim di negara yang mayoritas beragama lain, ternyata cukup berdinamika. Fahri dikisahkan hidup sangat berkecukupan, lebih dari cukup malah, namun bukan berarti ia dapat hidup tentram di lingkungan ia tinggal. Ada banyak dinamika dalam kehidupan bertetangganya. Mereka memang orang-orang Indonesia atau keturunan Indonesia, namun perbedaan keyakinan dan prasangka (mereka) membuat seakan tak pengaruh juga bertetangga dengan orang (keturuanan) Indonesia.
Namun, Fahri tetaplah Fahri seperti pada film sebelumnya. Ketika ia diperlakukan kasar dan tidak hormat pun oleh tetangganya itu, itu tidak merubah perilaku santun dan sabar Fahri terhadap mereka. Ia tetap memperlakukan tetangga sesuai dengan keyakinan dalam Islam. Ia tetap membantu dan memperlakukan tetangga-tetangganya dengan sangat baik. Walaupun sudah jelas-jelas mereka menunjukkan rasa tidak sukanya pada Fahri. Di sini lah salah satu pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Perbuatan tidak baik, bukanlah berarti harus dibalas dengan perbuatan tidak baik pula. Tapi balaslah dengan perbuatan baik, dengan begitu perbuatan tidak baik itu akhirnya akan berubah ke arah kebaikan.
Dalam satu bagian film, ada kuotes yang cukup bagus kurang lebih isinya sebagai berikut,” Yang patut dicinta dalam hidup adalah rasa cinta itu sendiri dan yang patut dibenci adalah rasa benci itu!” Dikisahkan Fahri mengikuti acara debat di universitas tempat ia mengajar. Tema debatnya adalah konflik di Timur Tengah. Usaha Fahri untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, ternyata berbalas juga. Nenek yang semula sangat membenci Fahri, bahkan justru ia lah yang membelanya ketika debat tersebut.
Nah, selanjutnya kisah mengenai rumah tangga Fahri. Dikisahkan bahwa Aisha (istri Fahri) beberapa tahun kebelakang menjadi seorang relawan di Palestina. Fahri sudah berusaha menyusulnya ke sana, namun karena suasana di sana genting. Fahri gagal menemuinya dan kemudian ia kehilangan kontak dengan istrinya. Keluarga seakan sudah menganggap Aisha tiada. Namun, Fahri masih bersikeras bahwa Aisha masih ada. Dalam situasi itu, muncullah tokoh Hulya, sepupu Aisha. Hulya berencana akan mengambil kuliah post graduate di kampus tempat Fahri mengajar. Ada tokoh Sabina, yang membuat saya juga sempat berpikir di awal, mengenai tokoh ini. Oh, iya ada juga tokoh Keira, tetangga Fahri yang sangat membencinya. Di sini lah muncul berbagai konflik. Konflik yang bisa membuat kita berpikir betapa, ujian itu muncul dalam berbagai bentuknya. Lulus tidaknya kita pun dalam menjalani ujian ini sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan keteguhan kita kepada Tuhan. Oh, iya film ini juga membuat kita seakan diingatkan bahwa pertolongan bisa datang dari mana saja, dari sumber yang mungkin luput dari prediksi kita.
Ok, selamat menikmati berbagai pembelajaran, khususnya pembelajaran spiritual dari film ini ya. Terlepas dari berbagai kisah drama di dalamanya.