LSF RI Pastikan Tak Lagi Potong Adegan Film, Terapkan Sistem Klasifikasi Usia

Tanggal: 12 Agu 2025 11:58 wib.
Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menegaskan bahwa proses penyensoran film di era digital saat ini tidak lagi dilakukan dengan cara memotong adegan atau memberi efek blur pada bagian tertentu. Ketua LSF, Dr. Naswardi, MM, ME, menjelaskan bahwa metode penyensoran kini berfokus pada penentuan klasifikasi usia untuk memastikan film ditonton oleh kelompok penonton yang sesuai. “Jadi kita tidak lagi memotong, tidak lagi blur, tidak lagi menggunting dari materi yang ada. Kalau ada film yang tidak sesuai dengan kategori klasifikasi usianya, kita memberikan catatan kepada pemilik untuk diperbaiki,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (7/8).

Naswardi mengatakan bahwa proses penyensoran dilakukan melalui dua tahap, yakni meneliti dan menilai. Tahap penelitian mencakup pemeriksaan judul, tema, dialog, monolog, teks terjemahan, hingga visual adegan. Setelah itu dilakukan penilaian untuk menyesuaikan film dengan klasifikasi usia yang berlaku, yaitu Semua Umur (SU), 13+, 17+, atau 21+. Ia mencontohkan, jika sebuah film diajukan untuk kategori semua umur namun memuat adegan kekerasan, maka pihak LSF akan memberikan catatan kepada pembuat film agar menyesuaikan konten tersebut sesuai kriteria kategori yang diajukan.

Dalam praktiknya, para pemilik atau pembuat film umumnya sudah memiliki gambaran klasifikasi usia yang diinginkan sebelum mengajukan karyanya. LSF kemudian menilai kesesuaian antara konten film dengan klasifikasi tersebut. Jika ditemukan perbedaan, pembuat film diberi pilihan untuk melakukan penyesuaian pada adegan, dialog, tema, atau judul agar sesuai. Namun, jika mereka memilih untuk tidak mengubah materi, maka LSF akan menetapkan klasifikasi usia yang dianggap tepat berdasarkan hasil penilaian. Menurut Naswardi, metode ini memberikan ruang kreatif yang lebih luas bagi para sineas, karena mereka dapat mempertahankan karya utuh tanpa khawatir ada bagian yang hilang akibat pemotongan.

Perubahan metode ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Jika pada masa lalu film masih menggunakan pita seluloid yang memungkinkan LSF memotong dan menyambung kembali bagian tertentu, maka saat ini seluruh materi berbasis digital sehingga proses pemotongan secara fisik tidak lagi mungkin dilakukan. Karena itu, LSF memilih sistem klasifikasi usia sebagai cara yang lebih efektif dan relevan dengan perkembangan industri perfilman.

Naswardi menegaskan bahwa penyensoran bukan semata membatasi kebebasan berekspresi, melainkan juga menjadi bentuk edukasi bagi publik. Dengan klasifikasi yang jelas, penonton dapat memilih tontonan yang sesuai dengan usianya, sementara sineas dapat memahami batasan konten bagi kelompok penonton tertentu. Pendekatan baru ini diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan berkarya dan perlindungan bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja, sehingga dunia perfilman Indonesia dapat tumbuh sehat tanpa mengorbankan nilai-nilai yang dijunjung bersama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved