Kampanye Anti Perundungan melalui Film Animasi
Tanggal: 26 Jun 2024 22:34 wib.
Film Animasi tentang Pesan Serius Flightless Bird (Burung yang Tak Bisa Terbang) adalah sebuah film animasi pendek yang diproduksi oleh tiga mahasiswa dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta. Film ini memiliki sebuah pesan yang sangat serius sehingga berhasil memenangkan lomba film animasi pendek.
Cerita dalam film ini mengisahkan tentang sebutir telur angsa yang jatuh dari langit dan menetas di kandang ayam. Anak angsa yang diberi nama Kishika ini hidup dalam lingkungan ayam yang mahir menari balet. Gaya unik Kishika dalam menari membuatnya menjadi korban perundungan dan penganiayaan oleh dua ekor ayam yang memotong salah satu sayapnya. Akhir cerita, anak angsa itu membakar dirinya sendiri.
Film animasi ini memberikan dua tafsir yang berbeda. Sutradara, Clarecia Nathaniel, menjelaskan bahwa kisah dalam film tersebut muncul dari empatinya terhadap masalah kejiwaan seperti depresi, dengan kecenderungan bunuh diri. Menurutnya, orang-orang tersebut memerlukan bantuan. Clarecia ingin menyampaikan pesan bahwa perundungan dan penganiayaan dapat membawa seseorang ke titik terendah, di mana mereka merasa bahwa tindak bunuh diri adalah satu-satunya solusi dari penderitaan yang mereka alami.
Tema bunuh diri dalam film ini diartikan bahwa tindakan tersebut memberikan kebebasan dan tidak akan ada lagi yang dapat menyakitinya. Namun, apakah tindak bunuh diri itu merupakan penyelesaian yang bijak? Clarecia menjelaskan bahwa mereka memilih untuk mengakhiri cerita itu dengan ending yang agak terbuka, di mana penonton dapat menafsirkannya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang bagi penonton untuk merenung dan mengaitkan pesan yang disampaikan dengan kehidupan nyata.
Tema yang Berani dan Penghargaan
Flightless Bird awalnya hanyalah sebuah film animasi pendek untuk proyek skripsi ketiga mahasiswa. Namun, ketika mereka mengikutsertakan film tersebut dalam lomba film animasi pendek yang diadakan oleh Universitas Multimedia Nusantara (UMN), mereka meraih kesuksesan yang tidak disangka. Meskipun lomba diikuti oleh banyak peserta dari luar Indonesia, seperti Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Singapura, film ini berhasil memenangkan kompetisi tersebut.
Penerimaan positif juga datang dari Merry Wijaya, seorang juri lomba yang juga pakar animasi. Dia menyambut baik tema yang diangkat oleh tim mahasiswa yang menyebut diri sebagai grup “Ardiente.” Menurutnya, jarang sekali tema bunuh diri diungkapkan, apalagi dalam film animasi yang dibuat oleh mahasiswa. Dia menilai bahwa film ini berhasil memberikan cerita dan rasa empati, sehingga penonton dapat lebih merasakan kasihan terhadap orang-orang yang menjadi korban perundungan.
Dalam lingkup psikologi, Diaz Robertus, SPsi dari klinik Terapi Maksimal di Surakarta, mengungkapkan bahwa dampak perundungan dalam lingkungan generasi Y dan Z dapat menyebabkan mereka mengambil langkah melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. Menurutnya, kecerdasan emosional dan spiritual sangat penting dalam membantu generasi ini menghadapi situasi sulit seperti itu. Diaz menambahkan bahwa film-film seperti Flightless Bird dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat agar lebih peka terhadap masalah perundungan, terutama di kalangan anak muda.
Proses Produksi dan Dampak Emosional
Produksi film animasi ini melibatkan peran-peran kunci dari ketiga mahasiswa yang terlibat, yaitu Clarecia, Tania, dan Joanne. Mereka bekerja sama dalam proses produksi film tersebut selama satu semester. Proses pembuatan karakter dan lingkungan dalam film ini melibatkan riset mendalam dari Theodora Tania. Dia mengungkapkan bahwa dalam mendesain karakter-karakter ayam, dia melakukan riset sejarah fesyen dari abad ke-19.
Selain itu, Joanne Sydney yang mengetuai pembuatan animasi dalam film ini mengungkapkan bahwa mereka banyak belajar dari referensi tentang gerakan dan bentuk burung untuk memastikan keakuratan animasi dalam film ini. Seluruh proses produksi dari storyboard hingga post production dilakukan dengan penuh dedikasi oleh ketiga mahasiswa ini.
Dari sisi penonton, Dhyang Anggita merupakan salah satu penonton yang merasa terhubung dengan karakter utama, Kishika. Dia mengaku bahwa pengalaman perundungan yang dialami Kishika mirip dengan yang dia alami saat kecil. Baginya, ending film ini sangat membawa dampak emosional yang kuat. Dengan melibatkan perasaan penonton, film ini berhasil menyampaikan pesannya dengan halus dan menyentuh.
Melalui perjuangan dan kerja keras mereka sendiri, ketiga mahasiswa ini berhasil menghasilkan film animasi yang memukau dan menyentuh banyak orang. Keberhasilan mereka dalam lomba film animasi pendek adalah suatu pencapaian yang membanggakan, namun yang lebih penting baginya adalah harapan bahwa pesan yang disampaikan dalam film ini mengenai isu perundungan dan bunuh diri, bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
Kesimpulannya, film animasi pendek Flightless Bird bukan hanya merupakan karya visual yang menarik, tetapi juga sebagai media untuk menyuarakan isu-isu penting yang seringkali diabaikan oleh masyarakat. Pesan tentang perundungan, depresi, dan tindakan bunuh diri menjadi fokus utama yang ingin disampaikan kepada penonton. Melalui pencapaian ini diharapkan mampu membantu dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memahami dan membantu mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Selain itu, film ini juga memberikan inspirasi bagi para pembuat film muda untuk tidak takut menyuarakan isu-isu sosial yang sedang terjadi di sekitar kita.