Sumber foto: Google

Frankenstein 2025: Ketika Manusia Berlagak Seperti Tuhan, Horor dan Kontroversi Menyatu

Tanggal: 18 Nov 2025 21:53 wib.
Film Frankenstein 2025 hadir sebagai salah satu film thriller-sci fi paling kontroversial tahun ini, membawa penonton pada pertanyaan moral yang mendalam: seberapa jauh manusia boleh bermain-main dengan kehidupan? Disutradarai oleh Lena Harsono, film ini merupakan reinterpretasi modern dari kisah klasik Mary Shelley, dengan sentuhan teknologi canggih dan dilema etis yang relevan dengan era bioengineering saat ini.

Plot film ini mengikuti Dr. Victor Stein, seorang ilmuwan brilian yang terobsesi menciptakan kehidupan baru menggunakan teknologi genetika mutakhir. Dengan motivasi yang awalnya terlihat mulia—menyelamatkan manusia dari penyakit mematikan—Dr. Stein justru terjerumus dalam keserakahan dan kesombongan. Ia menciptakan makhluk hidup dengan kecerdasan tinggi, namun tanpa moral atau empati yang memadai, menciptakan konflik tak terelakkan antara pencipta dan ciptaannya sendiri.

Sutradara Lena Harsono menekankan bahwa Frankenstein 2025 bukan sekadar film horor. “Kami ingin menggali sisi gelap manusia ketika berperan sebagai ‘Tuhan’. Ini bukan hanya soal monster yang menakutkan, tapi tentang pertanggungjawaban atas ciptaan kita sendiri,” ujarnya dalam konferensi pers sebelum pemutaran perdana.

Film ini berhasil memadukan horor psikologis, thriller, dan drama moral. Visual efeknya mengesankan, terutama dalam adegan penciptaan makhluk yang tampak realistis namun menyeramkan. Sinematografi gelap, pencahayaan yang dramatis, dan musik latar yang menegangkan berhasil menciptakan atmosfer penuh ketegangan, membuat penonton seolah ikut berada di laboratorium Dr. Stein.

Pemeran utama, Arga Prasetyo, memberikan performa luar biasa sebagai Dr. Stein. Ekspresi obsesinya, dilema moralnya, dan pergulatan emosionalnya ditampilkan dengan intens, membuat karakter ini terasa kompleks dan menakutkan sekaligus tragis. Sementara itu, pemeran makhluk ciptaannya, Kiko Rahman, berhasil menghadirkan campuran ketakutan, kebingungan, dan kemarahan, membuat penonton merasa simpati sekaligus takut pada karakter tersebut.

Frankenstein 2025 juga menyoroti isu etika dalam sains modern. Film ini mengangkat pertanyaan penting: jika manusia memiliki kekuatan untuk menciptakan kehidupan, apakah mereka siap memikul konsekuensinya? Adegan-adegan ketika makhluk ciptaan mulai memberontak menghadirkan kritik tajam terhadap kesombongan manusia yang percaya dapat mengontrol alam semesta.

Beberapa kritikus memuji film ini sebagai salah satu adaptasi Frankenstein paling relevan dengan zaman sekarang. Rina Hartono dari Film Indonesia Daily menulis, “Frankenstein 2025 tidak hanya menakutkan, tapi juga membuat penonton merenung. Kisah klasik ini dihidupkan kembali dengan teknologi dan dilema etis yang relevan dengan isu sains dan bioetika saat ini.”

Namun, film ini juga menuai kontroversi. Beberapa kelompok menyayangkan adegan eksperimen yang ekstrem dan kekerasan yang cukup grafis. “Meski film ini menarik, beberapa adegannya terlalu berlebihan dan bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi penonton sensitif,” kata kritikus Budi Santoso.

Meski demikian, banyak penonton muda justru menganggap kontroversi ini sebagai daya tarik. Mereka tertarik pada perpaduan horor, sains, dan drama psikologis, yang jarang ditemui dalam film Indonesia saat ini. Diskusi di media sosial pun ramai, dengan tagar #Frankenstein2025 trending dan penonton membagikan teori, analisis moral, serta adegan favorit mereka.

Salah satu kekuatan utama film ini adalah kemampuannya menyeimbangkan hiburan dan refleksi moral. Penonton diajak merenungkan batasan manusia, etika dalam sains, dan konsekuensi dari kesombongan yang berlebihan. Film ini juga menyoroti hubungan pencipta dan ciptaan, yang tidak sekadar soal kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab dan empati.

Selain itu, soundtrack film ini patut mendapat pujian. Musik latar yang atmosferik, dikombinasikan dengan efek suara laboratorium dan adegan horor, berhasil menambah ketegangan dan memperkuat pengalaman menonton. Setiap adegan penting terasa lebih dramatis berkat pilihan musik yang tepat.

Dengan durasi sekitar 120 menit, Frankenstein 2025 berhasil mempertahankan ketegangan dari awal hingga akhir. Klimaks film, ketika makhluk ciptaan menghadapi konsekuensi dari keberadaannya, meninggalkan kesan mendalam dan memancing diskusi panjang tentang moral dan etika.

Secara keseluruhan, Frankenstein 2025 bukan sekadar film horor atau thriller biasa. Film ini menggabungkan hiburan menegangkan dengan pesan moral yang kuat, membuat penonton tidak hanya takut, tetapi juga merenung. Ini adalah adaptasi klasik yang berhasil dihidupkan kembali dengan relevansi yang tinggi untuk era modern.

Bagi penggemar film horor dan thriller yang mencari tontonan dengan ketegangan sekaligus bahan refleksi, Frankenstein 2025 adalah pilihan tepat. Film ini menegaskan satu hal: ketika manusia mulai berlagak seperti Tuhan, konsekuensi yang mengerikan bisa terjadi, dan kadang-kadang, ciptaan bisa lebih berbahaya daripada pencipta.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved