Yuk, Kita Teladani Sifat Rasul dalam Meminta Maaf!
Tanggal: 19 Feb 2018 22:20 wib.
Dalam hidup, ada banyak peristiwa juga rasa. Tak jarang, kita juga dihadapkan pada dilema di antara sekian pilihan tindakan daam merespon sebuah peristiwa. Ada banyak pertimbangan di situ. Pertimbangan agama, hukum, norma, aturan, opini masyarakat, dsb. Ada kalanya kita memilh tindakan yang benar. Namun, ada kalanya juga kita tak luput dari salah.
Nah, yang terpenting adalah selanjutnya ketika kita sudah menyadari kesalahan kita. Apa yang selanjutnya kita lakukan? Sebelum kita membahas ini lebih lanjut, kita samakan dulu pendangan kita mengenai tindakan yang salah. Salah bisa hanya berdampak pada diri dan juga berdampak kepada orang lain. Jika hanya berdampak pada diri, yang selanjutnya kita lakukan setelah kita menyadari kesalahan kita adalah bertaubat, mohon ampun kepada Allah. Ketika ‘salah’ kita tidak hanya berdampak pada diri, namun juga berdampak pada orang lain, ini tidak hanya bisa selesai dengan bertaubat. Ada tindakan lain yang harus juga kita lakukan. Tindakan itu bernama ‘meminta maaf’.
Minta maaf ini terdengar sederhana dan tampak mudah. Namun, pada praktiknya ‘minta maaf’ ini adalah salah satu tindakan yang membutuhkan jiwa yang lapang, jiiwa yang mengenyampingkan ego, dan jiwa yang menomor sekiankan ego.
Hal ini seperti dicontohkan oleh Rasul. Salah satu kisah yang menceritakan betapa Rasulullah mengenyampingkan egonya adalah dalam peristiwa setelah perang Khaibar. Saat itu umat muslim menang dalam peperangan melawan Yahudi. Dikisahkan saat itu Rasulullah menemui tawanan perangnya. Salah satu tawanan perang yang ditemui Rasulullah adalah Shafiyah. Rasul menemui Shafiyah dalam rangka meminta maaf. Rasulullah meminta maaf bukan karena beliau salah. Namun beliau paham bahwa kala itu Shafiyah sudah kehilangan ayah, suami, dan paman dalam perang Khaibar ini. Saat itu, Shafiyah sedang berada dalam kondisi benci, sebenci-bencinya pada Rasul.
Dengan kondisi ini, Rasul tetap meminta maaf atas kehilangan keluarga Shafiyah. Rasul menjelaskan bahwa beliau sudah memberi mereka kesempatan. Namun, justru mereka yang kemudian malah menyerang, hingga akhirnya mereka terbunuh dalam perang tersebut. Rasul meminta maaf, lalu menjelaskan, hal ini ia lakukan berulang kali. Bukan hanya sekali atau dua kali, ia meminta maaf hingga berjam-jam. Minta maaf lalu menjelaskan, minta maaf lalu menjelaskan. Beliau melakukan ini hingga akhirnya Shafiya yang sangat membenci Rasul menjadi kagum dengan akhlak Rasul ini.
Rasul, yang sudah dijamin masuk surga saja, mau meminta maaf. Bahkan meminta maaf yang bukan merupakan kesalahannya. Betapa Rasul sungguh menghilangkan ego beliau. Betapa seorang yang sungguh mulia, tidak anti dengan ‘meminta maaf’, mengapa kita yang tidak dijamin masuk surga begitu sombongnya dengan tidak mau menurunkan atau menghilangkan ego ketika melakukan kesalahan kepada orang lain. Bayangkan juga seseorang yang asalnya sangat membenci Rasul kemudian sangat mengagumi Rasul. Yuk, kita teladani sifat Rasul dengan biasa ‘meminta maaf’ khususnya ketika kita melakukan kesalahan kepada orang lain.