Terkuak! Rahasia Teknik Membangun Candi Borobudur Tanpa Semen yang Masih Jadi Misteri hingga Kini
Tanggal: 13 Mei 2025 21:40 wib.
Waisak merupakan momen sakral yang dirayakan setiap tahun oleh umat Buddha di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, peringatan Waisak 2025 jatuh pada Minggu, 12 Mei 2024. Momen ini menjadi pengingat akan tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama yang dikenal sebagai Trisuci Waisak, yaitu kelahiran, pencerahan agung, dan wafatnya Buddha.
Biasanya, Hari Raya Waisak dirayakan pada saat bulan purnama atau yang disebut sebagai Purnama Sidhi. Momen tersebut dianggap paling suci dan bermakna dalam ajaran Buddha, sebab mencerminkan siklus kehidupan dan pencerahan spiritual yang menjadi inti ajaran Buddha Gautama.
Waisak dan Candi Borobudur: Tradisi yang Menyatu
Perayaan Waisak di Indonesia sudah memiliki sejarah panjang. Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), umat Buddha di tanah air telah memusatkan perayaan Waisak di dua lokasi bersejarah, yakni Candi Mendut dan Candi Borobudur sejak tahun 1929.
Hal ini juga diperkuat dengan adanya Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 yang secara resmi mengatur tentang perayaan Hari Raya Waisak. Lebih lanjut, pada tahun 1983, pemerintah menetapkan Waisak sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983.
Tak hanya umat Buddha dari Indonesia, para penganut agama Buddha dari berbagai negara juga datang ke Candi Borobudur untuk merayakan Waisak bersama. Hal ini dimungkinkan karena adanya nota kesepakatan antara empat kementerian dan dua pemerintah provinsi pada 11 Februari 2022 yang memperbolehkan Candi Borobudur difungsikan kembali sebagai pusat ibadah umat Buddha internasional.
Candi Borobudur: Mahakarya Arsitektur Kuno yang Masih Mengagumkan
Candi Borobudur bukan hanya pusat spiritual umat Buddha, tapi juga simbol kejayaan peradaban Indonesia di masa lampau. Dibangun sekitar tahun 750–850 Masehi oleh Dinasti Syailendra pada masa Kerajaan Mataram Kuno, Candi Borobudur menjadi bukti nyata kemajuan teknologi arsitektur di masa itu—yang masih menjadi misteri dan kekaguman hingga kini.
Yang menarik, pembangunan candi ini dilakukan tanpa semen atau bahan perekat lainnya seperti yang kita kenal saat ini. Candi Borobudur dibangun dengan teknik kuno yang sangat canggih untuk zamannya.
Rahasia Konstruksi: Bukit Bertingkat hingga Batu Interlock
Sekilas, Candi Borobudur tampak seperti tumpukan batu dari dasar hingga puncak. Namun kenyataannya, struktur candi ini dibangun di atas bukit. Menurut Noehardi Magetsari, seorang arkeolog dari Universitas Indonesia, dalam bukunya 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur (2014), tahap awal pembangunan dimulai dengan membentuk bukit menjadi berundak-undak.
Pekerjaan membentuk bukit itu sangat berat dan memerlukan banyak tenaga manusia untuk menguruk serta meratakan tanah hingga membentuk dasar candi. Setelah itu, barulah batu-batu andesit—sebanyak 55.000 m³—didatangkan dari tempat lain untuk disusun menjadi relief dan struktur candi.
Menariknya, batu-batu tersebut tidak direkatkan menggunakan semen. Melainkan, nenek moyang kita menggunakan teknik pahat dan sistem sambungan batu yang saling mengunci atau dikenal sebagai teknik interlock. Dalam dunia arsitektur modern, teknik ini mirip dengan sistem puzzle, di mana satu batu dipahat sedemikian rupa agar dapat saling terikat dengan batu lainnya.
Untuk mengangkut balok-balok batu ini, dibutuhkan sekitar empat orang dewasa untuk memikul satu balok. Hal ini menunjukkan betapa besar ukuran dan berat batu yang digunakan, serta tantangan besar yang harus dihadapi para pekerja saat itu.
Membawa batu ke ketinggian hingga 30 meter, memahatnya satu per satu, dan menyusunnya tanpa alat berat adalah proses yang luar biasa kompleks. Tidak heran jika pembangunan Candi Borobudur memakan waktu yang sangat lama. Bahkan, menurut Noehardi, kemungkinan besar banyak pekerja yang meninggal selama proses pembangunan karena tertimpa batu atau jatuh dari ketinggian.
Teknik Tanpa Semen yang Menginspirasi Dunia
Selain teknik interlock, dalam pembangunan kuno juga dikenal metode menggesek batu dan memberi air, khususnya jika menggunakan batu bata. Namun metode ini tidak berlaku pada batu andesit. Sebagai gantinya, pola kuncian antar batu dijadikan solusi agar bangunan kokoh meski tanpa bahan perekat.
Kegeniusan teknik konstruksi ini masih membuat para arsitek dan insinyur modern berdecak kagum. Bahkan, banyak yang mempelajari metode pembangunan Candi Borobudur sebagai referensi dalam konservasi bangunan bersejarah maupun konstruksi berkelanjutan.
Simbol Spiritual dan Kejayaan Nusantara
Candi Borobudur bukan hanya saksi bisu kejayaan arsitektur masa lalu, tapi juga simbol spiritualitas dan kebudayaan Indonesia. Perayaan Waisak yang diselenggarakan di sana setiap tahun menjadi momen penting yang menyatukan nilai-nilai keagamaan dan warisan budaya.
Melalui semangat Trisuci Waisak dan keagungan Candi Borobudur, masyarakat diajak untuk merenungkan nilai-nilai luhur kehidupan, menghormati sejarah, serta mengagumi kebijaksanaan nenek moyang kita yang berhasil membangun salah satu mahakarya dunia dengan teknologi terbatas namun hasil yang luar biasa.
Perayaan Waisak dan eksistensi Candi Borobudur mengajarkan kita bahwa kemajuan bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal dedikasi, kerja sama, dan kecintaan terhadap budaya serta nilai-nilai luhur manusia.