Sumber foto: iStock

Rahasia Kapur Barus dalam Al-Quran: Jejak Arab di Sumatera dan Penyebaran Islam

Tanggal: 30 Mar 2025 12:27 wib.
Keberadaan tanaman kamper, atau yang lebih dikenal di dunia internasional sebagai kapur barus, menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Arab. Tanaman ini diyakini oleh banyak orang sebagai air yang dimaksud dalam Surat Al-Insan ayat ke-5, di mana Allah berjanji bahwa "orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas yang berisi minuman bercampur air kafur." Hal ini mengundang perhatian para pedagang dan peneliti untuk menelusuri asal-usul tanaman tersebut, yang ternyata berasal dari Indonesia, tepatnya Pulau Sumatera.

Namun, perlu dicatat bahwa kamper yang saat ini kita kenal sebagai pewangi kecil adalah hasil dari sintesis kimia, sedangkan kamper yang disebutkan dalam Al-Quran berasal dari spesies tanaman bernama Dryobalanops aromatica. Tanaman ini memiliki aroma yang khas dan diketahui memiliki khasiat yang menyehatkan tubuh.

Sayangnya, masyarakat Arab mengalami kesulitan untuk memperoleh tanaman tersebut karena bukan merupakan flora asli di kawasan mereka, sehingga mereka berupaya menggali informasi lebih dalam mengenai keberadaan tanaman tersebut di belahan dunia lain.

Pencarian untuk tanaman kamper membawa para pedagang ke wilayah yang selama ini mungkin mereka anggap sebagai tempat yang terasing, yang kini kita kenal dengan sebutan Indonesia. Dalam konteks ini, pulau Sumatera, khususnya daerah yang dikenal sebagai Barus, menjadi pusat pencarian bagi mereka.

Pusat Tanaman Kamper

Arkeolog Edward Mc. Kinnon, dalam bukunya yang berjudul "Ancient Fansur, Aceh's Atlantis" (2013), mencatat bahwa hubungan perdagangan yang berlangsung antara Arab dan wilayah Nusantara mengantarkan mereka kepada pengetahuan bahwa Sumatera adalah pusat tanaman kamper. Dalam tulisan-tulisan para pedagang Arab, Barus disebut sebagai pelabuhan penting yang menjadi locus pengiriman berbagai komoditas termasuk kamper.

 Sebagai contoh, Ibn Al-Faqih mencatat pada tahun 902 bahwa Fansur adalah wilayah penghasil kapur barus, cengkih, pala, dan kayu cendana. Ahli geografi Ibn Sa'id al Magribi pada abad ke-13 juga secara spesifik menyebutkan bahwa kamper berkualitas tinggi berasal dari Pulau Sumatera, dan lebih jauh lagi, ahli Romawi Ptolemy bahkan telah menyebutkan Barus sejak abad ke-1 Masehi.

Melihat informasi dari berbagai sumber, tak heran jika banyak warga Arab, khususnya pedagang, berduyun-duyun menuju Sumatera. Mereka melakukan perjalanan panjang dari kawasan Teluk Persia menuju Barus melalui rute yang melewati Ceylon (sekarang Sri Lanka). 

Sejarawan Claude Guillot, dalam karyanya "Barus Seribu Tahun yang Lalu" (2008), menekankan bahwa kedatangan orang Arab di Barus ini dilakukan dengan kapal-kapal besar yang dirancang untuk mengangkut komoditas dalam jumlah besar, termasuk kapur barus yang laku keras di pasar internasional.

Menjadi Pelabuhan Penting

Kedatangan orang Arab di Sumatera kian meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan akan kamper berkualitas dari Barus, yang pada masa itu dapat mengalahkan kualitas kamper dari wilayah Malaya dan Kalimantan. Dengan ini, Barus bukan hanya sekadar disangka sebagai lokasi penghasil kamper, tetapi juga telah berkembang menjadi pelabuhan penting di Sumatera.

Kehadiran para pedagang Arab akhirnya tidak hanya didorong oleh keinginan untuk berbisnis, tetapi juga menjadi titik tolak dalam penyebaran agama Islam. Setelah berulang kali singgah di Barus, para pedagang ini mulai tinggal dan berinteraksi dengan penduduk lokal. Dihasilkannya interaksi ini diduga memfasilitasi proses Islamisasi di wilayah-wilayah pelabuhan, seperti Barus (Fansur) dan tempat-tempat lain seperti Thobri dan Haru.  

Sejarah mencatat bahwa pengaruh Islam pertama kali masuk ke Barus paling tidak pada abad ke-7 Masehi, yang ditandai dengan penemuan makam kuno Mahligai. Di lokasi tersebut terdapat nisan yang berasal dari periode yang sama, dan ini menjadi bukti sejarah keberadaan komunitas Muslim awal di sana.

Kehadiran para pedagang Muslim ini bukan hanya sekadar dalam ranah perdagangan, tetapi juga berperan dalam menciptakan jaringan sosial yang kuat antara dunia Arab dan masyarakat Indonesia. Dengan keberadaan mereka, barulah Islam mulai merasuk ke dalam komunitas lokal, membantu mengembangkan pemahaman dan praktik keagamaan dalam konteks budaya masyarakat setempat.

Dampak Jangka Panjang

Hubungan yang selama ini terjalin antara pedagang Arab dan penduduk setempat di Barus membuka pintu bagi proses garis keturunan dan pertukaran budaya yang lebih luas lagi. Pedagang-pedagang Muslim ini tidak hanya menjadi penghubung antar budaya, tetapi mereka juga turut menumbuhkan rasa saling menghargai dalam konteks yang lebih universal. 

Ketika mereka memperkenalkan ajaran Islam, hal ini pada gilirannya membawa dampak pada tradisi dan kebudayaan lokal. Dan sebagai akibatnya, Indonesia dikenal bukan hanya sebagai negara penghasil komoditas dagang, melainkan juga sebagai wilayah yang menjanjikan dalam hal pertukaran pengetahuan dan spiritual.

Dari sini, dapat dilihat bahwa keberadaan tanaman kamper yang dicari oleh masyarakat Arab tak hanya menjadi simbol perdagangan, tetapi juga sebagai jembatan dalam hubungan antar budaya yang lebih kompleks. Berbagai faktor ini menjadi penting dalam memahami sejarah panjang hubungan antara dunia Arab dan Indonesia, terutama dalam konteks kebudayaan serta evolusi agama di Tanah Air. Timbulnya berbagai interaksi ini menunjukkan bahwa perdagangan dan agama memiliki peranan penting dalam membangun jejaring sosial yang menghubungkan dua belahan dunia yang berbeda.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved