Panggilan Pak Haji dan Bu Hajah, Benarkah Dilarang? Begini Pendapat Ulama
Tanggal: 25 Mei 2024 14:57 wib.
Panggilan dengan gelar haji di Indonesia merupakan suatu bentuk penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah. Gelar ini menjadi simbol dari kesungguhan dan keikhlasan seseorang dalam menjalankan kewajiban agama Islam yang satu ini.
Sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan atas perjalanan spiritual yang telah dilalui oleh seseorang dalam menunaikan rukun Islam kelima tersebut, panggilan Pak Haji, Bu Hajah sering kali digunakan. Selain itu, panggilan ini juga mencerminkan status sosial dan kehormatan di masyarakat, di mana pemilik gelar ini seringkali dianggap memiliki kedudukan istimewa dan dihormati.
Menurut Dalamislam.com, panggilan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" belum dikenal saat zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta sahabat beliau. Bahkan menurut seorang Syaikh bernama Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an. Namun, bagaimana hukum dari panggilan tersebut dalam teropong Islam?
Secara arti bahasa, Haji berarti menyengaja atau mengunjungi, sedangkan dalam terminologi Islam, Haji itu berarti berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan beberapa amalan-amalan seperti wukuf, tawaf, sa'i serta amalan lainnya pada masa tertentu untuk mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT. Keseluruhan rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan di Arab Saudi, sehingga siapapun yang berangkat kesana tentulah orang yang mampu dan memiliki bekal materi yang cukup.
Menurut Dr. Bakr Abu Zaid, kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam Islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat Islam (qurun mufadhalah).
Ulama memiliki pendapat yang berbeda mengenai gelar ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa penggunaan gelar haji dilarang karena belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dapat memicu riya. Sebagai contoh, Lajnah Daimah pernah mengatakan bahwa panggilan haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Mereka berpendapat bahwa melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun seseorang akan mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima.
Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa gelar semacam ini boleh digunakan, terlepas dari kondisi batin jamaah haji. Alasan keikhlasan dan tradisi tertentu menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Gelar tertentu untuk ibadah tertentu bersifat urf (tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi di masyarakat.
Tidak ada dalil yang secara tegas melarang penggunaan gelar haji. An-Nawawi bahkan menyatakan bahwa boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Karena di Indonesia, menunaikan ibadah haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.