Mengenang Kembali Peristiwa Agung pada Zaman Nabi Ibrahim AS

Tanggal: 1 Sep 2017 11:05 wib.
Hari ini umat Islam di seluruh penjuru dunia bersama-sama menggemakan pujian atas kebesaran Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari 1,57 miliar kaum Muslimin di seluruh dunia mengagungkan asma Allah subhanahu wata’ala melalui takbir, tahlil, dan tahmid. Sementara itu, pada 9 Dzulhijjah kemarin, lebih dari tiga juta saudara kita kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia telah berkumpul untuk wukuf di Padang Arafah, menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima.

اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

Ketaatan Nabi Ibrahim

Di hari ‘Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1437 H ini, kita mengenang kembali peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim dalam menaati perintah Allah subhanahu wata’ala untuk menyembelih putranya, Ismail. Padahal bagi Nabi Ibrahim, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah sangat lama didambakan. Namun di tengah rasa cinta itu, turunlah perintah Allah kepadanya untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Allah berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (QS. ash-Shaffat: 102).

Terhadap perintah itu, Nabi Ibrahim mengedepankan kecintaan yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyingkirkan kecintaan duniawi, yakni kecintaan kepada anak.

Perintah amat berat itu pun disambut oleh putranya, Ismail alaihissalam, dengan penuh kesabaran. Ismail-pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

"Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. ash-Shaffat: 102)

 Ø§Ù„لهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut sudah seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban mewujudkan pengamalan syariah Islam secara kaffah.

Ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam melaksanakan syariah Islam mungkin terasa asing bahkan aneh, di tengah peradaban modern yang membanggakan dan mengidolakan kekayaan dan kemewahan duniawi. Semakin kita merasa aneh maka semakin jauh kita dari sikap mental Islami yang justru semestinya menjadi pakaian dalam kehidupan ini. Inilah ruh Islam yang seharusnya menjiwai segenap aktifitas hidup orang-orang beriman. Tidak sedikit umat Islam yang amalan agamanya hanya sebatas ritual shalat, doa dan dzikir. Sementara hatinya kosong, tidak ada ruh Islami yang menggema di dalamnya. Kurangnya keyakinan bahwa ibadah itu membawa keselamatan hidup, kurangnya keyakinan bahwa Allah itu mampu memenuhi hajat hidupnya. Maka yang nampak di tengah umat ini kegersangan hati, hidupnya tidak sakinah. Bahkan muslimin Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta inipun tidak mampu membangun kehidupan Islami yang memberikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup yang hakiki sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lemahnya kekuatan ruhiyah ini nampak dari sikap-sikap permisif (serba membolehkan), hedonistis (mengejar kepuasan hidup) dan materialistis (serba materi, semua amal dinilai secara materi).

Peradaban Islam sebagaimana masa Rasulullah dan Khulafaur rasyidin yang dijiwai dengan semangat ukhuwwah dan amal sholeh, kini berubah dengan semangat perpecahan dan perselisihan antar firqoh. Prestasi hidup tidak lagi diukur dengan taqwa dan amal sholih, melainkan diukur dari banyaknya harta dan titel status sosial.

 

Pergeseran Orientasi Hidup

Apa yang sedang terjadi di tengah umat ini adalah sebuah pergeseran orientasi hidup. Arah dan tujuan hidup semakin bergeser, secara pelan tetapi pasti, yaitu dari orientasi hidup ukhrowi ke orientasi hidup duniawi. Kecintaan yang besar terhadap dunia nampak sekali dari bobot perjuangannya yang luar biasa sepanjang hidupnya. Pola hidup zuhud dan qonaah yang diterapkan Rasulullah dan para sahabat beliau dahulu mungkin sudah dianggap hina dan tidak bergengsi. Naudzubillah min dzaalik. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran 14).

Perangkat dunia seperti emas, perak, sawah ladang memang perhiasan yang boleh dimiliki manusia, tetapi Allah mengingatkan bahwa akhirat itu yang lebih baik. Tentu dimaksudkan agar manusia jangan terpedaya dengan dunia yang fana dan justru melupakan akhirat yang lebih baik lagi kekal abadi.

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi 104).

Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia pada akhirnya membuat perubahan besar pada orientasi hidup manusia juga umat Islam. Akhirat tidak lagi nampak dalam hati dan pikirannya. Mereka menjadikan dunia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Diyakini yang membuat bahagia adalah uang dan harta kekayaan, yang membuat terhormat di tengah masyarakat adalah jabatan dan status sosial lainnya. Tanpa terasa mereka terjerumus dalam kemusyrikan. Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (QS. Al-Baqarah 165).

Dampak dari perubahan orientasi hidup ini adalah lemahnya ketaatan, semangat pengorbanan dan perjuangan menegakkan syariah Islam.

 

Lemahnya Ukhuwwah Ummat

Selain persoalan kehidupan pribadi – pergeseran orientasi hidup, ummat Islam juga menghadapi persoalan yang lebih besar menyangkut kehidupan ummat secara global, yaitu lemahnya ukhuwwah ummat. Perwujudan ukhuwwah yang semakin lemah ini merupakan hasil upaya konspirasi global untuk memecah belah umat Islam sedunia.

Padahal ikatan ukhuwwah ummat sebagai ummatan waahidah merupakan bagian penting dalam melaksanakan syariah Islam secara kaaffah. Keterpurukan umat di belahan bumi ini karena belum diamalkannya syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan. Saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Rohingya di Myanmar dan lainnya, kini hidup dalam penjajahan, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya. Khusus Palestina beserta Masjid Al-Aqsha kini terus diserang dan dirampas Yahudi Israel. Mereka ingin membersihkan bumi Palestina dari muslimin dan menjadikan Al-Aqsha sebagai bagian tempat ibadah mereka.

Muslimin dari Syuriah kini tertindas dan terusir dari negerinya karena perbedaan paham agama. Mereka kini terlunta-lunta mencari tempat hidup ke negara-negara kafir di Eropa, sementara negara-negara muslimin terdekat justru diam bahkan ikut memusuhinya. Inilah korban hancurnya ukhuwwah ummat Islam sedunia. Sementara di Indonesia, rakyat terhimpit kemiskinan, harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam dikeruk oleh korporasi asing, budaya kufur semakin marak, dan korupsi kian merajalela.

Sungguh, pangkal keterpurukan ini bersumber pada satu hal yakni penyimpangan dari tuntunan Allah subhanahu wata’ala. Ini karena kaum Muslimin berpaling dari Al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam QS. Thaha 124:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”.

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).

Sedangkan penghidupan yang sempit tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, menderita, terjajah dan tertindas, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.

 Ø§Ù„لهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

Mengembalikan Ketaatan Mu’minin

Di hari Idul Adha ini kembali kita diingatkan akan hebatnya ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya. Ketaatan hamba-hamba Allah dalam menunaikan syariah secara kaaffah adalah sebuah komitmen hidup yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan ketaatan inilah akan melahirkan semangat pengorbanan yang ikhlas dalam kehidupan mu’minin.

Bagi umat Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Allah bahkan menetapkan Ulil Amri sebagai satu diantara sumber ketaatan mu’minin, sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nisa: 59, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu" (QS. An-Nisa 59).

Penetapan Ulil Amri sebagai sumber ketaatan ini merupakan syariat bagi keberlanjutan kepemimpinan umat hingga akhir jaman sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimanapun muslimin berada. Tidak berhenti pada masa Rasul saja. Pertanyaannya adalah: Sebagai orang beriman, siapa Ulil Amri anda?

Kata “Ulil Amri minkum” pada ayat diatas menunjukkan bahwa Ulil Amri adalah pimpinan diantara kalian orang-orang beriman, bukan pemimpin lintas agama. Maka sepeninggal wafatnya Rasulullah, umat Islam/para sahabat bermusyawarah hingga akhirnya membaiat/mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Ulil Amri dengan sebutan Khalifah Abu Bakar, periode berikutnya Umar bin Khothob dan Utsman bin Affan dengan sebutan Amirul Mu’minin serta Ali bin Abi Tholib dengan sebutan Imam Ali.

Kehidupan muslimin sepeninggal Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin berangsur-angsur mengalami perpecahan. Munculnya berbagai pemahaman dan penafsiran, didukung oleh semangat kebangsaan/ashobiyah, dipisahkan oleh kepentingan politik serta diadudomba oleh konspirasi global Zionis Yahudi – maka lengkaplah skenario perpecahan umat Islam hingga hari ini.

Solusinya sudah Allah berikan dengan QS. an-Nisa 59 diatas. Dengan ayat tersebut jelaslah bahwa bagi umat Islam, mengamalkan syariah Islam selain mentaati Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah (al-hadits), melainkan masih ada satu lagi yang umumnya belum diamalkan yaitu keberadaan Ulil Amri sebagai penggembala umat ini. Ulil Amri itulah yang mengkordinasikan pengamalan syariah secara kaaffah. Masyarakat yang memiliki undang-undang tapi tanpa penegak hukum tentu kacau dan anarkhis. Demikian pula umat Islam dengan al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa Ulil Amri sebagai institusi pelaksana syariah, maka masing-masing golongan berjalan sendiri-sendiri bahkan saling bangga dan memusuhi sesama muslimin.  Allah mengingatkan:

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَمِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka"  (QS. Ar-Ruum 31-32).

Memang perubahan besar dunia menuju tegaknya syariah secara kaaffah tidak mudah, namun memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar dari segenap kaum muslimin. Dengan pengorbanan itu, insyaAllah perjuangan yang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nuur: 55).

Dalam upaya menyempurnakan amalan Islam, maka sudah saatnya umat Islam merapatkan ukhuwwah, hidup berjama’ah dan lepaskan baju-baju firqoh yang hanya membawa bencana ummat. Dimanapun berada hendaknya kita meningkatkan ketaatan kepada Allah, dengan segala usaha dan pengorbanan yang dapat kita lakukan. Demikian pula meneladani perilaku hidup Rasulullah, serta mengangkat dan mentaati Ulil Amri sebagai wujud pengamalan Islam yang kaffah. Jika Nabi Ibrahim dengan ketaatannya rela mengorbankan anak kesayangannya, maka pengorbanan apa yang kita relakan sebagai wujud ketaatan kita dan pengharapan kita akan ridho dan ampunan Allah?  Semoga hari raya Qurban ini menjadi awal peningkatan kataatan kita kepada Allah subhanahu wata’ala.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved