Majelis Ulama Indonesia, Sebut DAI Perlu Standarisasi Dibanding Sertifikat
Tanggal: 16 Des 2024 15:49 wib.
Tampang.com | Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga otoritatif yang berperan dalam menetapkan berbagai kebijakan terkait agama di Indonesia. Salah satu peran penting MUI adalah dalam bidang dakwah dan ukhuwah, yang bertanggung jawab atas penyebaran ajaran agama Islam dan menjaga persatuan umat. Pada tanggal 14 Desember 2024, dalam sebuah acara "Inside Story Episode Gus Miftah," Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, memberikan pandangannya terkait perlunya standarisasi bagi Da'i (pendakwah) dibandingkan dengan sertifikat yang mereka miliki.
Gus Miftah sendiri merupakan sosok yang dikenal kontroversial dalam dunia dakwah di Indonesia. Dengan gaya berdakwah yang unik dan kontroversial, ia mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Namun, sosoknya juga kerap menuai kritik dan kontroversi terkait cara penyampaiannya yang dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan.
Dalam acara "Inside Story Episode Gus Miftah," KH Cholil Nafis menyoroti tentang pentingnya standarisasi bagi para Da'i yang berdakwah di Indonesia. Menurutnya, standarisasi ini diperlukan agar dakwah yang disampaikan memiliki kualitas yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan adanya standar yang jelas, diharapkan dakwah yang disampaikan tidak hanya memiliki kualitas yang baik, tetapi juga meminimalisir terjadinya penyalahgunaan ajaran agama untuk kepentingan pribadi.
Pandangan KH Cholil Nafis ini juga merupakan respons terhadap perkembangan peran Da'i di era digital seperti sekarang. Dengan media sosial dan berbagai platform digital lainnya, peran Da'i semakin terpampang di hadapan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dan terukur dalam menilai kualitas seorang Da'i.
Namun demikian, pandangan ini juga menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Beberapa pihak mendukung langkah untuk melakukan standarisasi terhadap Da'i agar dakwah yang disampaikan lebih berkualitas dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, di sisi lain, ada pula yang meragukan efektivitas dari standarisasi tersebut. Mereka khawatir bahwa standarisasi dapat menjadikan dakwah menjadi terkotak-kotak dan kehilangan nuansa keberagaman dalam menyampaikan ajaran agama.
Selain itu, pernyataan dari KH Cholil Nafis ini juga menimbulkan pertanyaan terkait kriteria apa yang akan dijadikan standar dalam menilai kualitas seorang Da'i. Apakah hanya sertifikat atau pendidikan formal yang dijadikan acuan? Ataukah terdapat aspek lain seperti kemampuan komunikasi, pemahaman ajaran agama, dan integritas personal yang harus dievaluasi?
Dalam konteks ini, tentu perlu kajian mendalam serta diskusi yang melibatkan berbagai pihak terkait. Momentum yang dihadirkan oleh Inside Story Episode Gus Miftah ini menjadi ajang yang tepat untuk memperkuat dialog antara MUI, para Da'i, dan masyarakat dalam menemukan titik temu terkait perlunya standarisasi bagi mereka yang berperan sebagai pembawa dakwah di Indonesia.
Dalam kesimpulannya, pernyataan KH Cholil Nafis mengenai perlunya standarisasi bagi Da'i menandakan bahwa peran MUI sebagai lembaga otoritatif dalam menegakkan ajaran agama Islam terus berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, termasuk dalam pengaturan peran para Da'i. Bagaimanapun, langkah menuju standarisasi tersebut harus disikapi secara bijaksana dan terukur, mengingat kompleksitas dan dinamika dalam dunia dakwah di era digital saat ini.