Ketentuan Aqiqah: Apakah Harus Dilaksanakan Saat Bayi?
Tanggal: 26 Jul 2025 09:14 wib.
Aqiqah adalah salah satu tradisi penting dalam Islam yang banyak dijalankan umat Muslim sebagai wujud syukur atas kelahiran seorang anak. Prosesnya melibatkan penyembelihan hewan ternak—dua ekor kambing atau domba untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan—serta mencukur rambut bayi dan memberikan nama. Namun, di tengah pemahaman ini, sering muncul pertanyaan: apakah pelaksanaan aqiqah itu harus benar-benar dilakukan saat bayi masih sangat kecil, atau ada kelonggaran waktu?
Dasar Hukum dan Waktu Pelaksanaan Ideal
Secara umum, aqiqah dipahami sebagai bentuk sunnah muakkadah, artinya amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Dasar hukumnya berasal dari berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang populer menyebutkan: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa waktu yang paling utama atau ideal untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh dihitung sejak hari kelahiran. Misalnya, jika bayi lahir pada hari Senin, maka hari ketujuhnya adalah hari Ahad. Jika kelahiran terjadi di malam hari (setelah magrib), sebagian ulama menghitungnya sebagai hari berikutnya.
Namun, bagaimana jika ada kendala untuk melaksanakannya di hari ketujuh?
Kelonggaran Waktu dan Batasan Usia
Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai batasan waktu pelaksanaan aqiqah jika tidak bisa dilakukan pada hari ketujuh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika tidak memungkinkan di hari ketujuh, maka aqiqah bisa dilaksanakan pada hari ke-14 atau hari ke-21. Ini didasarkan pada riwayat lain yang menyebutkan kelonggaran tersebut. Jadi, ada fleksibilitas waktu bagi keluarga yang mungkin membutuhkan persiapan lebih.
Lebih jauh lagi, jika hingga hari ke-21 pun belum terlaksana karena berbagai alasan (misalnya keterbatasan finansial, belum siap, atau kondisi lain), mayoritas ulama juga berpendapat bahwa aqiqah tetap bisa dilaksanakan kapan saja setelahnya, bahkan setelah anak dewasa. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa amalan sunnah yang dianjurkan tidak gugur begitu saja jika tidak dilakukan pada waktu idealnya, selama ada niat baik untuk melaksanakannya.
Beberapa ulama bahkan berpendapat bahwa jika seseorang belum diaqiqahi oleh orang tuanya hingga ia dewasa, maka ia diperbolehkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri (aqiqah untuk diri sendiri). Ini menunjukkan bahwa esensi syukur dan pembebasan 'gadaian' anak dari berbagai keburukan itu bisa tetap dicapai kapan pun, selama ada kemampuan dan keinginan.
Esensi dan Hikmah Aqiqah
Terlepas dari perdebatan mengenai batasan waktu yang ketat, esensi dan hikmah di balik aqiqah tetaplah sama:
Wujud Syukur: Aqiqah adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia dan amanah berupa anak.
Menebus Gadaian: Menurut keyakinan, anak yang baru lahir 'tergadaikan' sampai dilakukan aqiqah, yang berarti ia belum sepenuhnya 'bebas' dari beberapa potensi hal buruk.
Mempererat Silaturahmi: Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat, yang menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan.
Doa dan Perlindungan: Pelaksanaan aqiqah juga diiringi doa untuk kebaikan dan perlindungan anak.
Manifestasi Syariat: Melaksanakan aqiqah adalah bentuk ketaatan terhadap syariat Islam dan meneladani sunnah Nabi.
Fleksibilitas dalam waktu pelaksanaan aqiqah sebenarnya menunjukkan sifat Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) dan tidak memberatkan umatnya. Yang terpenting bukan hanya kapan dilaksanakannya, melainkan niat tulus untuk menunaikan amalan sunnah ini sebagai bentuk syukur dan doa untuk anak. Keluarga yang menghadapi kendala finansial tidak perlu merasa terbebani atau terlarang untuk menunaikan aqiqah, karena bisa dilakukan saat mereka sudah mampu.