Sumber foto: Canva

Istidraj dalam Islam: Ujian Berkedok Nikmat Dunia

Tanggal: 15 Jul 2025 12:21 wib.
Dalam ajaran Islam, ada sebuah konsep yang sering disalahpahami, yakni istidraj. Banyak orang mengira bahwa segala kenikmatan duniawi, seperti harta melimpah, karier cemerlang, atau kesehatan prima, selalu merupakan tanda keberkahan dan keridaan Allah. Padahal, bisa jadi semua itu adalah istidraj, sebuah ujian yang justru menjerumuskan hamba-Nya ke dalam kelalaian dan kehancuran. Istidraj ini bukan sekadar nikmat biasa, melainkan cara Allah 'menarik' seseorang secara bertahap menuju azab-Nya, sementara ia merasa semakin nyaman dan jauh dari jalan yang benar. Ini adalah peringatan bagi kita untuk senantiasa mawas diri dan tidak terlena dengan gemerlap dunia.

Makna dan Hakikat Istidraj

Secara bahasa, istidraj berarti menarik secara bertahap atau sedikit demi sedikit. Dalam konteks syariat Islam, istidraj adalah pemberian kenikmatan duniawi oleh Allah kepada hamba-Nya yang durhaka, jauh dari ketaatan, dan tenggelam dalam kemaksiatan. Ironisnya, semakin hamba tersebut bergelimang dosa, semakin melimpah pula nikmat yang Allah berikan. Ini bukanlah bentuk kasih sayang atau rida, melainkan justru tipu daya yang membuat sang hamba semakin jauh dari hidayah, merasa aman, dan enggan bertaubat.

Gambaran sederhananya, istidraj itu seperti orang yang semakin jauh melangkah ke tepi jurang, namun di setiap langkahnya ia justru diberi fasilitas dan kemudahan yang membuatnya merasa nyaman dan tidak menyadari bahaya di depan. Ia diberikan rezeki tanpa diduga, kekuasaan tanpa lawan, atau kesehatan yang prima padahal ia terus-menerus melanggar perintah-Nya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 182: "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui." Ayat ini menjadi landasan kuat pemahaman kita tentang istidraj.

Tanda-Tanda dan Ciri-Ciri Istidraj

Lantas, bagaimana cara kita mengenali istidraj? Ini bukan hal mudah karena batas antara nikmat dan istidraj sangat tipis dan bersifat personal, seringkali hanya diketahui oleh Allah dan hamba yang bersangkutan. Namun, ada beberapa ciri yang bisa kita jadikan renungan:

Melimpahnya Nikmat di Tengah Kemaksiatan: Ciri paling kentara adalah seseorang yang terus-menerus berbuat dosa, melalaikan salat, tidak berpuasa, memakan harta haram, atau merugikan orang lain, namun hidupnya justru terlihat lancar, kaya raya, dan seolah tidak pernah mendapat balasan buruk. Hartanya makin banyak, jabatannya makin tinggi, dan hidupnya tampak tanpa masalah.

Jauh dari Ketaatan Tanpa Merasa Bersalah: Orang yang mengalami istidraj cenderung tidak merasa bersalah atas dosa-dosanya. Bahkan, ia mungkin merasa bahwa kenikmatan yang datang itu adalah bukti bahwa Allah merestui perbuatannya, sehingga ia semakin sombong dan enggan bertaubat. Hatinya keras, sulit menerima nasihat, dan cenderung meremehkan agama.

Tidak Ada Ujian atau Musibah yang Mengingatkan: Biasanya, ketika seorang hamba berbuat dosa, Allah akan menegurnya dengan berbagai cobaan atau musibah sebagai bentuk peringatan agar ia kembali ke jalan-Nya. Namun, bagi yang istidraj, teguran itu tidak datang. Hidupnya terlalu mulus, seolah tidak ada satu pun cobaan yang bisa menyadarkannya. Ini justru menjadi bahaya besar, karena ia tidak punya kesempatan untuk kembali.

Keterlenaan dan Kelalaian: Seseorang yang istidraj akan semakin terlena dengan gemerlap dunia. Fokus hidupnya hanya pada pencapaian materi, kekuasaan, atau kesenangan sesaat. Ia lupa akan tujuan hidup sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah, dan lalai mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Hikmah dan Pelajaran dari Konsep Istidraj

Memahami konsep istidraj mengajarkan kita beberapa pelajaran penting:

Nikmat Bukan Selalu Tanda Rida: Kita tidak boleh terlalu mudah berpuas diri atau sombong dengan kenikmatan dunia yang kita miliki. Kenikmatan itu adalah ujian. Jika nikmat tersebut membuat kita makin bersyukur, makin taat, dan makin dekat dengan Allah, maka itu adalah keberkahan. Namun, jika justru membuat kita makin jauh dari-Nya, itu adalah peringatan keras.

Pentingnya Mawas Diri dan Muhasabah: Setiap orang perlu senantiasa melakukan introspeksi diri (muhasabah). Apakah hidup kita yang terlihat mulus ini benar-benar karena Allah rida, ataukah justru karena kita sedang diuji dengan istidraj? Introspeksi ini harus dibarengi dengan peningkatan kualitas ibadah, taubat, dan kepedulian terhadap sesama.

Musibah sebagai Bentuk Kasih Sayang: Terkadang, musibah atau kesulitan yang menimpa kita adalah bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan dan membersihkan dosa-dosa kita, sehingga kita kembali kepada-Nya. Janganlah kita berputus asa atau merasa tidak disayang saat ditimpa musibah.

Jauhi Kesombongan dan Perasaan Aman Semu: Kisah Firaun adalah contoh nyata istidraj. Ia diberikan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa, namun semakin sombong dan menolak kebenaran, hingga akhirnya dihancurkan. Ini menjadi pelajaran agar kita tidak pernah merasa aman dari azab Allah, seberapa pun melimpahnya harta dan jabatan yang kita punya.

Istidraj adalah konsep yang mendalam, mengajarkan kita untuk tidak sekadar melihat permukaan. Kenikmatan duniawi bisa jadi pedang bermata dua: anugerah jika disikapi dengan syukur dan ketaatan, namun bisa menjadi jebakan mematikan jika justru membuat kita lalai dan tenggelam dalam dosa. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved