Hukum Menikahi Saudara Ipar dalam Islam, Bolehkah?
Tanggal: 5 Mar 2025 17:45 wib.
Pernikahan dalam Islam diatur dengan sangat jelas, tidak hanya dari segi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai, tetapi juga mengenai siapa saja yang diperbolehkan untuk dinikahi dan siapa yang tidak. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah tentang hukum menikahi saudara ipar. Apakah hal ini diizinkan dalam agama Islam atau justru dilarang?
Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan hanya sekadar ikatan antara dua orang, tetapi juga melibatkan hubungan antara keluarga besar dan norma-norma yang harus dihormati. Oleh sebab itu, memahami isu ini menjadi sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dan tetap berada di jalur yang benar sesuai dengan ajaran agama.
Mengacu pada informasi dari NU Online, hukum menikahi dua perempuan yang bersaudara pada saat yang sama sangat jelas dilarang dalam Islam. Ini tertuang dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa, yang berbunyi:
Artinya, “Diharamkan bagi kalian untuk mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.” (QS. An-Nisa’: 23). Ini jelas menunjukkan bahwa pernikahan dengan dua saudara perempuan tidak diperkenankan, demi menjaga keutuhan hubungan keluarga.
Aturan yang sama juga berlaku pada hubungan antara bibi dan keponakan. Hadis dari Rasulullah SAW menegaskan hal ini:
Artinya, “Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibinya (dari pihak ayah) dan begitu pula sebaliknya.” (HR. at-Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan pernikahan harus diatur sedemikian rupa untuk menghindari ketidakadilan dan perselisihan.
Perlu diketahui bahwa saudara ipar dihukumkan sebagai orang yang tidak boleh dinikahi selama masih ada ikatan perkawinan. Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam karya Fikih Wanita: Empat Mazhab menegaskan bahwa ipar bukan termasuk golongan mahram. Ini berarti bahwa seorang suami tidak diizinkan untuk menikahi saudara iparnya selama masih terikat dengan istri sah.
Disamping itu, larangan berduaan dengan saudara ipar menjadi isu yang harus diperhatikan. Dalam Fikih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa seorang laki-laki sebaiknya berhati-hati ketika mendekati wanita yang bukan mahram, termasuk ipar sendiri. Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir RA, Rasulullah menyebutkan, “Ipar adalah maut (kematian).” (HR. Tirmidzi), yang menunjukkan betapa berbahayanya interaksi yang tidak terjaga antara pria dan wanita yang bukan mahram.
Namun, bagaimana dengan situasi di mana pernikahan dilakukan setelah perceraian atau kematian pasangan? Di Indonesia, istilah “turun ranjang” dan “naik ranjang” merujuk pada pernikahan antara individu dengan adik atau kakak iparnya setelah pasangan sahnya meninggal atau bercerai. Menurut pandangan Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatul Thalibin, setelah seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in (talak tiga), ia diperbolehkan untuk menikahi saudara iparnya meskipun dalam masa iddah.
Artinya, “Seandainya seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in, maka ia boleh langsung menikahi saudara iparnya meski masih dalam masa iddah.” Namun dalam kasus talak raj’i, pernikahan dengan ipar tidak boleh dilakukan sampai masa iddah istrinya berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa ada batasan waktu dan syarat yang harus dipatuhi dalam menjalani pernikahan setelah perpisahan.
Dalam konteks ini, jelas bahwa hukum menikahi saudara ipar dalam Islam sangat bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Melalui penjelasan ini, kita dapat memahami dengan lebih mendalam mengenai aturan yang berlaku dan pentingnya menjaga hubungan keluarga dalam ajaran Islam. Wallahu a'lam bissawab.