2 Warga Jakarta Gugat MK, Minta Kolom Agama Bisa Ditulis Tak Beragama
Tanggal: 26 Okt 2024 08:51 wib.
Dua warga Jakarta, yang diketahui bernama Ratna dan Dian, telah mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar kolom agama dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP) dapat diisi dengan opsi "tidak beragama".
Gugatan ini menimbulkan sorotan publik karena berkaitan dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Para pemohon berargumen bahwa pilihan untuk tidak mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi.
Menurut Rymond dan Indra, ketentuan yang mengharuskan mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan telah mengurangi kebebasan individu untuk memilih atau tidak memilih memiliki keyakinan agama. Mereka merasa bahwa tidak adanya opsi "tidak beragama" telah menempatkan mereka dalam posisi yang tidak sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut.
“Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” ujar pendamping para pemohon, Teguh Sugiharto.
Teguh mengatakan, para pemohon mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk yang agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia.
Selain itu, para pemohon juga melihat bahwa ketentuan tersebut telah menimbulkan diskriminasi terhadap individu yang tidak memilih untuk memasukkan informasi agama dalam dokumen kependudukan mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada justifikasi yang cukup kuat untuk tetap mempertahankan kewajiban mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan pada era yang semakin menuntut adanya keberagaman dan toleransi.
Berdasarkan asas negara hukum dan segala keputusan yang dikeluarkan oleh negara haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak untuk berkeyakinan atau tidak berkeyakinan. Oleh karena itu, gugatan ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah dan lembaga legislatif untuk meninjau kembali regulasi yang ada agar dapat memastikan perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara.
Perkembangan gugatan ini tentu menarik perhatian banyak pihak, terutama mereka yang peduli terhadap isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama di Indonesia. Bagaimana MK akan merespons dan mengambil keputusan terkait gugatan ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu, karena dapat menjadi preseden penting dalam menegakkan prinsip-prinsip kebebasan beragama di tanah air.
Keputusan dari isu ini tentu tidak akan menyenangkan semua pihak, namun yang jelas adalah pentingnya untuk menghormati hak asasi setiap individu, baik yang memiliki keyakinan agama maupun yang tidak. Semoga proses hukum dapat berlangsung sesuai dengan prinsip keadilan dan kemerdekaan berkeyakinan, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga keberagaman dan toleransi di Indonesia.
Dengan gugatan ini, semoga dapat membuka ruang diskusi baru mengenai kebijakan administrasi kependudukan yang harus mampu mengakomodasi keberagaman masyarakat Indonesia tanpa menimbulkan diskriminasi terhadap individu-individu yang memilih untuk tidak mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan mereka. Perlindungan terhadap hak asasi manusia haruslah menjadi fokus utama dalam merumuskan kebijakan publik, agar setiap warga negara dapat merasa dihormati dan diakui sesuai dengan keyakinan dan identitas mereka.