Sumber foto: pinterest

UU ITE: Pasal Karet yang Membungkam Suara Rakyat

Tanggal: 20 Mei 2025 11:01 wib.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tahun 2008 menjadi salah satu regulasi yang mengalami banyak pro dan kontra di Indonesia. Pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya pasal-pasal yang dianggap sebagai “pasal karet”, sering kali digunakan dalam konteks yang menyimpang dari tujuan awalnya. Salah satu dampak paling mencolok dari penerapan UU ITE adalah dalam hal kriminalisasi terhadap individu yang mengungkapkan pendapat di ranah publik, baik melalui media sosial maupun platform digital lainnya.

Pasal karet dalam UU ITE, seperti Pasal 27 Ayat 3 yang menyebutkan tentang larangan penyebaran konten yang melanggar kesusilaan, sering kali diinterpretasikan dengan cara yang manipulatif. Dalam prakteknya, banyak pengguna media sosial yang dilaporkan dan dituntut karena mengekspresikan pendapatnya yang dianggap merugikan pihak lain atau bahkan aparat pemerintah. Hal ini membuat banyak orang merasa tertekan dan memilih untuk tidak berbicara, demi menghindari masalah hukum yang mungkin timbul.

Fenomena kriminalisasi ini menjadi sorotan di kalangan masyarakat. Kasus-kasus seperti penangkapan aktivis, jurnalis, maupun masyarakat biasa yang hanya bercita-cita menyampaikan opini menjadi semakin marak. Banyak di antara mereka dijadikan contoh untuk menakut-nakuti orang lain agar tidak berani mengungkapkan pandangan mereka. Implementasi UU ITE yang lebih bersifat represif ini sangat berbahaya bagi kebebasan berpendapat dan mengurangi ruang publik untuk dialog yang konstruktif.

Selain itu, pasal karet dalam UU ITE juga berpotensi menyasar kritik yang ditujukan kepada pemerintah. Dengan alasan menjaga ketertiban umum atau keamanan negara, banyak pihak berwenang yang memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk mengecam suara-suara kritik. Dalam konteks ini, UU ITE tidak hanya menjadi alat hukum, tetapi juga alat untuk membungkam berbagai aspirasi rakyat. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum, di mana setiap kali mereka berinteraksi di dunia maya, ada rasa takut bahwa pendapat mereka bisa dijadikan alasan untuk dituntut.

Kritis terhadap UU ITE juga menjalar ke dunia akademis dan media. Banyak peneliti dan aktivis yang secara terbuka menelaah dampak negatif dari penerapan UU ITE yang berkelanjutan. Mereka menekankan pentingnya revisi dan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah, termasuk pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan kriminalisasi. Namun, diskusi ini sering kali terhambat oleh berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang lebih berfokus pada penegakan hukum daripada pelindungan hak asasi manusia.

Melihat semua ini, jelas bahwa UU ITE, khususnya pasal karet di dalamnya, telah menciptakan kekhawatiran terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak orang yang merasa tertekan dan terintimidasi, sehingga dampak terhadap partisipasi publik dalam kegiatan sosial, politik, maupun ekonomi menjadi sangat terbatas. Keadaan ini memicu pertanyaan besar tentang keberlanjutan demokrasi dan ruang gerak bagi masyarakat dalam berinteraksi di ruang publik.

Ke depan, sangat penting bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun kalangan hukum, untuk duduk bersama dan mengevaluasi kembali penggunakan UU ITE. Sebab, tanpa adanya perbaikan dalam cara pandang dan penerapan hukum, potensi untuk melahirkan generasi yang berani berpendapat akan semakin terancam. Menjaga suara rakyat agar tetap bisa didengar dan dihargai merupakan tugas kita bersama sebagai bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved