Sumber foto: Google

Uji Materil UU ITE Dikabulkan Sebagian, MK Pertegas Kritik Adalah Bentuk Koreksi

Tanggal: 30 Apr 2025 19:14 wib.
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan sebagian gugatan uji materiil terhadap Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keputusan ini menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama ini merasa terancam saat menyampaikan kritik di ruang digital.

Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 27A tidak boleh dimaknai secara sempit atau digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hakim MK Arief Hidayat secara khusus menyatakan bahwa kritik merupakan bentuk koreksi, pengawasan, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, kritik yang disampaikan secara etis tidak dapat dikriminalisasi atas dasar ketentuan Pasal 27A.

Putusan MK ini mengakomodasi sebagian permohonan para pemohon yang menganggap bahwa pasal tersebut rawan disalahgunakan untuk membungkam ekspresi sah di media sosial, termasuk kritik terhadap pejabat publik. Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa penerapan Pasal 27A harus memperhatikan prinsip keadilan dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

"Pasal tersebut tidak boleh digunakan untuk menyerang hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat yang kritis, selama pendapat tersebut tidak bersifat fitnah atau menyerang kehormatan pribadi seseorang tanpa dasar," ujar Hakim Arief dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (28/4/2025).

Pasal 27A UU ITE sendiri merupakan pasal baru yang mengatur soal penghinaan terhadap kehormatan atau martabat seseorang melalui media elektronik. Dalam Pasal 45 ayat (4), pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp200 juta. Sejak disahkan, pasal ini menuai banyak kritik dari kalangan akademisi, pegiat HAM, dan masyarakat sipil karena dianggap tumpang tindih dengan KUHP dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat.

Dengan dikabulkannya sebagian uji materiil ini, Mahkamah Konstitusi memberikan batasan yang lebih tegas terhadap tafsir pasal tersebut. MK menekankan bahwa pelaporan terhadap seseorang berdasarkan pasal penghinaan harus disertai dengan bukti yang kuat serta niat jahat (mens rea), bukan sekadar ketidaksukaan terhadap opini atau kritik yang disampaikan.

Putusan ini menjadi preseden penting dalam menjaga ruang demokrasi digital di Indonesia. Banyak kalangan menyambut baik langkah MK yang dinilai mampu meredam potensi kriminalisasi atas nama kehormatan pribadi.

Dengan putusan ini, diharapkan aparat penegak hukum lebih bijak dalam menindak kasus-kasus dugaan penghinaan, dan masyarakat pun tidak lagi dibayangi rasa takut saat menyampaikan kritik yang membangun. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mempertegas bahwa dalam negara demokrasi, kritik adalah bentuk koreksi, bukan kejahatan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved