TWK KPK: Tes Ala Orde Baru di Era Reformasi
Tanggal: 20 Mei 2025 11:01 wib.
Tahun 2021 menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). TWK yang dilaksanakan sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan banyak kontroversi. Banyak pihak menganggap bahwa TWK merupakan langkah mundur bagi lembaga antirasuah yang dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Kritikan ini semakin menguat karena cara pelaksanaan TWK yang dinilai mirip dengan praktik era Orde Baru.
Pelaksanaan TWK ini menjadi sorotan publik saat sejumlah pegawai KPK yang tidak lolos tes tersebut terpaksa harus menerima pemecatan. Pemecatan pegawai KPK ini memicu gelombang protes baik dari dalam maupun luar lembaga. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, tindakan pemecatan ini menimbulkan keraguan akan komitmen pemerintah terhadap transparansi dan integritas, dua nilai penting yang selalu diusung oleh KPK.
TWK oleh banyak pengamat dianggap tidak relevan untuk mengevaluasi kemampuan dan integritas pegawai KPK dalam melakukan tugasnya. Terlebih lagi, hampir seluruh pegawai KPK yang dipecat adalah mereka yang dikenal memiliki prestasi dalam pekerjaan mereka, termasuk dalam pengusutan kasus-kasus besar korupsi. Sejumlah pegawai yang mengalami pemecatan juga menyatakan bahwa TWK lebih banyak berisi pertanyaan yang bersifat ideologis, bukan kompetensi yang sesuai dengan tugas mereka.
Dalam konteks sejarah, praktik yang serupa pernah terjadi di masa Orde Baru yang terkenal dengan “pembersihan” pegawai negeri. Di masa itu, langkah-langkah yang diambil sering kali lebih bernuansa politis daripada berdasarkan pada kinerja atau kompetensi. Sejarah ini menguak kembali kekhawatiran publik bahwa TWK KPK bisa menjadi alat untuk memberangus suara-suara kritis dan kemandirian pegawai KPK, serta melemahkan posisi lembaga dalam proses pemberantasan korupsi.
TWK di tubuh KPK juga menarik perhatian karena adanya dugaan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk meminimalisir kekuasaan KPK. KPK, yang selama ini menjadi salah satu lembaga independen yang memiliki taring dalam memberantas korupsi, kini berada dalam situasi yang sengaja dirugikan dengan pemecatan pegawai-pegawai yang dianggap berintegritas. Tidak jarang, ini menimbulkan anggapan bahwa pemerintah berupaya untuk meredam gerakan antikorupsi yang kian meluas di masyarakat.
Sementara itu, banyak pihak berpendapat bahwa seharusnya pemerintah melakukan evaluasi yang lebih bertanggung jawab dan adil terhadap pegawai KPK. Jika ada masalah dengan kinerja atau perilaku individu, seharusnya ada proses penilaian yang transparan dan memberikan kesempatan untuk pembelaan diri sebelum pemecatan dilakukan. Namun, kenyataannya, pemecatan melalui TWK tampak sedikit banyak dilandasi oleh kepentingan politik yang menuntut loyalitas.
Kontroversi TWK ini juga menunjukkan adanya ketidakpastian hukum dan keadilan dalam pemerintahan. Ratusan pegawai KPK yang terdampak tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan harapan untuk memberantas korupsi yang terus merugikan masyarakat. Di sisi lain, publik dapat melihat bagaimana TWK KPK menjadi simbol dari pertarungan politik yang lebih luas di Indonesia, di mana suara lembaga antikorupsi ditekan untuk melayani kepentingan tertentu.
Dengan seluruh dinamika ini, masa depan KPK sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh politik menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Seperlunya, pihak-pihak terkait memberikan perhatian serius terhadap proses dan hasil dari TWK ini, agar pelajaran dari sejarah tidak terulang dan semangat reformasi yang diperjuangkan tidak kembali tergerus oleh kekuasaan.