Tragedi Tanjung Priok 1984: Darah dan Doa yang Dibungkam
Tanggal: 20 Mei 2025 11:10 wib.
Tragedi Tanjung Priok 1984 adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, yang menyiratkan konflik antara militer dan masyarakat sipil. Kejadian ini terletak di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan terjadi pada tanggal 12 September 1984. Di balik angka tanggal tersebut tersimpan kisah pilu yang mengguncang hati banyak orang, terutama bagi umat Islam yang terlibat.
Pada era itu, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto, yang dikenal dengan rezim Orde Baru. Pemerintah memiliki kontrol yang ketat terhadap aktivitas sosial dan politik, terutama yang berkaitan dengan Islam. Membuat suara masyarakat, terutama yang memiliki aspirasi Islam, sering kali diabaikan dan dibungkam, bahkan dengan cara-cara yang brutal. Dalam konteks inilah tragedi Tanjung Priok terjadi.
Awal mula peristiwa ini berakar dari rencana pengiriman bantuan bagi saudara-saudara Muslim yang berada di Palestina. Komunitas Islam di Tanjung Priok, yang dikenal dengan sebutan 'Gerakan Pembebasan Ummah', merencanakan penggalangan dana dan penyebaran informasi tentang perjuangan mereka. Namun, niatan baik ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah yang merasa terancam. Militer mulai mengambil tindakan tegas untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Pada saat demonstrasi berlangsung, massasiswa dan warga berbondong-bondong berkumpul di pelabuhan Tanjung Priok untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan umat Islam di Palestina. Namun, unjuk rasa damai ini berubah menjadi kekacauan ketika aparat militer, dipersenjatai dengan senjata api, merespons dengan kekerasan. Mereka menembaki para demonstran tanpa pandang bulu, menewaskan banyak orang yang justru mempertahankan hak mereka untuk berpendapat.
Pendekatan militer yang represif ini menggambarkan betapa besarnya ketakutan pemerintah terhadap gerakan Islam. Dalam benak mereka, Islam bukan lagi sebuah agama yang harus dihormati, melainkan ancaman yang harus dihancurkan. Penggunaan kekuatan militer yang berlebihan di Tanjung Priok menjadi simbol dari pembungkaman suara-suara keadilan, yang bahkan tidak segan-segan mencabut nyawa.
Peristiwa ini memunculkan banyak pertanyaan tentang hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak keluarga para korban tragedi Tanjung Priok yang masih merasakan dampak trauma yang mendalam. Hingga saat ini, nama-nama mereka yang telah gugur di Tanjung Priok masih terukir dalam ingatan sebagai simbol perjuangan, meski banyak dari mereka yang tidak pernah mendapatkan keadilan.
Reaksi masyarakat terhadap tragedi ini beragam. Umat Islam yang dulunya terpecah mulai menyatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tragedi Tanjung Priok menjadi titik tolak bagi beberapa organisasi Islam untuk berbicara lebih keras mengenai kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Meski banyak yang terpaksa bersembunyi dan menjalani hidup dalam ketakutan, namun semangat perjuangan mereka tetap menyala.
Berdirinya komunitas-komunitas baru, seminar-seminar keagamaan, serta gerakan sosial untuk mendukung hak-hak sipil semakin tumbuh subur di kalangan umat Islam. Meskipun ancaman terus membayangi, darah yang telah tertumpah di Tanjung Priok takkan pernah sia-sia. Doa dan harapan mereka akan sebuah perubahan yang lebih baik untuk generasi mendatang terus bergema di setiap sudut negeri.