Tragedi Kanjuruhan 2022: Nyawa Suporter, Politik Aparat
Tanggal: 20 Mei 2025 11:03 wib.
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022, menjadi salah satu momen paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Stadion Kanjuruhan, yang terletak di Malang, Jawa Timur, menjadi saksi bisu atas jatuhnya banyak korban jiwa akibat kerusuhan yang melibatkan suporter. Dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, situasi yang awalnya berlangsung lancar berubah menjadi chaos setelah pertandingan berakhir. Tragedi ini mencerminkan bagaimana sepak bola, yang seharusnya menjadi ajang hiburan, berpotensi menjadi ajang kekerasan dan ketegangan politik.
Kondisi di Stadion Kanjuruhan mulai memanas selepas Arema FC harus menerima kekalahan dari rivalnya, Persebaya Surabaya. Ribuan suporter Arema, yang tidak bisa menahan emosi, melakukan tindakan anarkis dengan merusak fasilitas stadion dan berkonfrontasi dengan aparat keamanan. Dalam upaya mengendalikan kerusuhan, aparat menggunakan gas air mata, sebuah tindakan yang kemudian menuai kritik tajam. Gas air mata, yang seharusnya digunakan sebagai langkah terakhir dalam penanganan kerusuhan, justru berkontribusi pada terjadinya kepanikan di dalam stadion, menyebabkan banyak suporter terdesak dan terjebak dalam situasi yang mematikan.
Akibat dari tindakan tersebut, lebih dari 130 nyawa melayang, dan ribuan orang mengalami luka-luka. Tragedi Kanjuruhan jelas menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk mengelola emosi dan ketegangan di dalam stadion dapat berakibat fatal. Suporter yang seharusnya menikmati momen pertandingan malah terperangkap dalam lingkaran kematian. Hal ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang tanggung jawab pihak-pihak terkait, terutama aparat keamanan yang terlibat dalam penanganan situasi tersebut.
Politik aparat di balik tragedi Kanjuruhan tidak bisa dipisahkan dari konteks yang lebih luas. Banyak pihak menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan cermin dari ketidak profesionalan dalam pengelolaan keamanan di stadion, yang selama ini telah diwarnai berbagai masalah. Dalam beberapa kasus sebelumnya, insiden serupa telah terjadi di pertandingan sepak bola, namun tidak ada langkah konkret yang diambil untuk mencegah terulangnya tragedi. Kebijakan terkait pengamanan susulan pasca-tragedi seringkali dianggap sebagai upaya sepihak tanpa melibatkan dialog dengan suporter.
Tak hanya itu, tragedi di Kanjuruhan juga menyeret banyak pihak ke dalam skandal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Banyak suporter yang memberikan kritik terhadap cara aparat menangani situasi tersebut dan tuntutan untuk keadilan semakin menguat. Banyak komunitas suporter mengadakan aksi solidaritas, mendukung keluarga korban dan meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab. Dalam pernyataan-pernyataan resmi, berbagai organisasi suporter menyerukan perlunya reformasi dalam penanganan kerusuhan di stadion agar tragedi serupa tidak terjadi lagi.
Tragedi Kanjuruhan bukan hanya sekadar catatan kelam dalam dunia sepak bola, tetapi sudah menjadi refleksi tentang bagaimana suporter, aparat, dan pengelola harus saling berkolaborasi untuk menciptakan suasana yang kondusif dan aman. Upaya menuju reformasi dan perlunya pengaturan yang lebih baik dalam konteks keamanan menjadi penting, tidak hanya untuk memulihkan nama baik sepak bola Indonesia, tetapi juga menyelamatkan nyawa banyak orang yang hanya ingin menikmati olahraga favorit mereka.
Melihat tragedi yang menyayat hati ini, semua elemen terkait dalam ekosistem sepak bola Indonesia harus mengambil pelajaran berharga. Sebuah sinergi antara berbagai pihak perlu dijalin agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Kanjuruhan akan selalu dikenang sebagai pengingat tragis bagi semua yang mencintai sepak bola, bahwa olahraga seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah antara sesama. Kita semua berharap agar kejadian ini tidak hanya menjadi cerita penuh duka, tetapi juga menjadi titik tolak menuju perubahan yang lebih baik untuk sepak bola Indonesia.