Sumber foto: pinterest

Tragedi Ethiopia: Perang Tigray dan Politik Pemusnahan

Tanggal: 15 Mei 2025 11:22 wib.
Ethiopia, negara dengan sejarah panjang dan kaya diversitas budaya, saat ini tengah menghadapi salah satu konflik bersenjata yang paling kompleks dan mematikan di kontinennya. Perang Tigray, yang dimulai pada November 2020, menyelimuti wilayah utara Ethiopia dengan kekerasan yang luar biasa. Konflik ini bukan sekadar pertempuran antara dua kelompok, tetapi juga mencerminkan dinamika politik yang lebih luas dan dampak terhadap masyarakat sipil, yang sering kali menjadi korban dalam krisis seperti ini.

Konflik bersenjata di Tigray berakar dari ketegangan yang telah berlangsung lama antara pemerintah federal Ethiopia dan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang merupakan partai politik yang dominan di wilayah itu selama tiga dekade sebelum pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed. Setelah Abiy menjadi perdana menteri pada tahun 2018 dan mengimplementasikan reformasi politik, ketegangan antara TPLF dan pemerintahan pusat mulai meningkat. TPLF merasa terancam oleh pengurangan kekuatan dan pengaruhnya, dan pada November 2020, mereka melancarkan serangan ke basis militer federal, menandai dimulainya konflik bersenjata yang brutal.

Ketika perang berkobar, laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang serius mulai muncul. Pasukan pemerintah Ethiopia, bersama dengan milisi dari Eritrea, dituduh melakukan tindakan pemusnahan yang terorganisir terhadap populasi Tigray. Juga, dilaporkan adanya pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penggusuran paksa yang dilakukan terhadap warga sipil, yang semuanya merupakan indikasi dari upaya pemusnahan budaya dan identitas etnis Tigray. Ini adalah bagian dari apa yang oleh banyak pihak dianggap sebagai "politik pemusnahan" yang dilakukan dengan cara sistematis.

Konflik ini juga mengakibatkan krisis kemanusiaan yang mendalam. Menurut PBB, lebih dari 5 juta orang di Tigray membutuhkan bantuan kemanusiaan mendesak. Penutupan akses bantuan, akibat perang, telah membuat banyak orang tanpa makanan, air bersih, dan perawatan medis. Hal ini menambah beban penderitaan bagi penduduk sipil yang sudah terperosok dalam kekacauan akibat konflik bersenjata ini. Banyak warga Tigray yang terpaksa mengungsi, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga melarikan diri ke negara tetangga.

Reaksi internasional terhadap konflik di Ethiopia juga bervariasi. Beberapa negara dan organisasi internasional mengutuk tindakan kekerasan dan menyerukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, sementara yang lain tampak lebih berhati-hati, tidak ingin terlibat terlalu dalam dalam masalah internal Ethiopia. Diplomasi untuk mencapai gencatan senjata telah dilakukan, namun hingga kini, situasinya tetap tidak beranjak dari kebuntuan.

Seiring berjalannya waktu, ekspansi konflik keluar dari Tigray menjadi ancaman bagi stabilitas regional. Milisi dari Tigray telah berkonflik dengan kelompok bersenjata di wilayah sekitarnya, seperti Amhara dan Afar, yang meningkatkan ketegangan dan memperluas dampak kemanusiaan dari konflik ini. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya penularan kekerasan ke negara-negara tetangga, yang sudah menghadapi tantangan politik dan sosialnya sendiri.

Dengan situasi yang terus berkembang, tragedi Ethiopia ini mengingatkan kita akan kerentanan masyarakat dalam menghadapi konflik bersenjata. Perang Tigray, lebih dari sekadar perjalanan sejarah, merupakan pelajaran pahit tentang akibat dari pertikaian politik yang tak terkelola dan kegagalan untuk melindungi hak asasi manusia. Masyarakat internasional kini dihadapkan pada tantangan untuk menemukan cara yang tepat untuk membantu rakyat Ethiopia yang menderita, tanpa memperburuk keadaan yang sudah kritis.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved