Tol Laut Jokowi: Mimpi Poros Maritim Tanpa Pelabuhan Nyata
Tanggal: 21 Mei 2025 09:47 wib.
Ketika Presiden Joko Widodo mencanangkan visi besar menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, banyak pihak menyambutnya dengan tepuk tangan dan harapan. Visi ini tak hanya menggugah romantisme sejarah Nusantara sebagai bangsa pelaut, tetapi juga membuka optimisme akan pemerataan ekonomi antar-pulau melalui program Tol Laut.
Namun, lebih dari satu dekade setelah jargon itu berkumandang, publik harus menelan kenyataan pahit: tol laut nyaris seperti jalan bebas hambatan yang hanya indah di peta, tapi penuh lubang di dunia nyata.
Secara konsep, Tol Laut adalah sistem transportasi laut reguler dan terjadwal yang menghubungkan wilayah barat dan timur Indonesia, terutama kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar. Harapannya, disparitas harga barang bisa ditekan, pasokan logistik lebih lancar, dan integrasi ekonomi nasional makin kuat.
Namun fakta di lapangan justru berkebalikan. Banyak kapal logistik yang berangkat penuh dari pelabuhan barat (seperti Tanjung Priok) namun pulang dalam keadaan kosong dari timur. Artinya, arus barang hanya satu arah. Wilayah timur masih miskin produksi, pelabuhan minim fasilitas bongkar muat, bahkan konektivitas antar-pulau kecil pun sangat terbatas.
Dalam laporan BPK dan sejumlah kajian akademik, ditemukan bahwa beberapa kapal tol laut bahkan beroperasi tanpa muatan karena tidak ada sistem distribusi terintegrasi antara pusat logistik dan pasar lokal. Pemerintah daerah pun banyak yang tidak siap. Tidak semua pelabuhan tujuan memiliki infrastruktur penunjang seperti gudang, jalan penghubung, atau tenaga bongkar muat yang memadai.
Akhirnya, tol laut justru menjadi proyek yang boros subsidi, tetapi minim manfaat ekonomi jangka panjang. Harga barang di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara tetap tinggi. Sementara BUMN pengelola kapal dan pelabuhan mengeluh soal efisiensi dan pembengkakan biaya operasi.
Pertanyaan yang menggantung: di mana letak gagalnya program ini? Jawabannya ada di antara manajemen logistik yang parsial, ego sektoral kementerian, hingga pendekatan pembangunan yang terlalu Jakarta-sentris. Indonesia adalah negara kepulauan, bukan negara dengan satu pusat yang mengalirkan segalanya ke daerah. Jika poros maritim hanya berarti menambah kapal dan pelabuhan tanpa mengembangkan ekosistem ekonomi lokal, maka itu bukan strategi, tapi mimpi di atas air.
Ironisnya, jargon Poros Maritim Dunia seringkali dipakai untuk mempermanis pidato dan diplomasi luar negeri. Tapi di dalam negeri, para nelayan masih kesulitan mendapatkan es batu untuk menyimpan hasil tangkapan, dan pedagang di NTT masih membayar ongkos logistik lebih mahal daripada harga barang itu sendiri.
Tol laut seharusnya bukan sekadar jalur kapal, melainkan jaringan keadilan ekonomi. Tapi jika pelabuhan-pelabuhan itu hanya berdiri megah namun tak hidup, maka kita hanya membangun dermaga untuk mimpi yang tak kunjung merapat.