Sumber foto: Google

Tanah Terlantar Diambil Negara, Menteri ATR/BPN: Dua Tahun Nggak Dicangkul, Bisa Diusulkan

Tanggal: 22 Apr 2025 18:30 wib.
Isu mengenai tanah dan rumah warisan yang tidak terurus bisa diambil alih negara kini tengah menjadi perhatian publik. Banyak masyarakat merasa resah, terutama mereka yang memiliki tanah warisan yang belum dibalik nama atau belum dimanfaatkan secara optimal.

Keresahan ini mencuat dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR RI dan Kementerian ATR/BPN, Selasa (22/4/2025). Salah satu anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf, menyampaikan bahwa banyak warga kesulitan mengurus legalitas tanah warisan karena berbagai faktor, salah satunya adalah kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang membuat proses balik nama menjadi mahal dan rumit.

“Warga yang tidak mampu membayar biaya balik nama atau pajak NJOP merasa cemas tanahnya bisa dianggap telantar dan akhirnya diambil alih negara,” ujar Dede Yusuf dalam forum tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN (ATR/BPN), Nusron Wahid, memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak serta-merta mengambil alih tanah masyarakat yang tidak digarap. Ia menjelaskan bahwa aturan mengenai tanah telantar merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021, yang mengatur mengenai pengelolaan aset negara, khususnya tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB).

“Tanah itu harus dikelola. Kalau dua tahun tidak dicangkul, tidak dimanfaatkan, dan itu HGU atau HGB, maka bisa diusulkan untuk dikelola negara,” kata Nusron.

Ia menambahkan bahwa tanah warisan yang belum balik nama tidak langsung dianggap tanah telantar, selama masih ada ahli waris yang berupaya mengurusnya atau memanfaatkan secara tidak formal. Nusron juga menjelaskan bahwa pemerintah justru sedang mendorong percepatan proses balik nama tanah warisan melalui program digitalisasi pertanahan dan penyederhanaan birokrasi.

Namun demikian, Nusron mengingatkan masyarakat agar tidak membiarkan tanah menganggur terlalu lama, karena selain merugikan secara ekonomi, kondisi tersebut juga bisa memicu konflik atau sengketa di kemudian hari. Ia mengimbau masyarakat untuk aktif mengelola dan mencatatkan tanahnya secara resmi.

“Kita ingin aset yang ada di masyarakat itu produktif. Bukan malah dibiarkan begitu saja,” tegas Nusron.

Pernyataan ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Banyak yang mendukung upaya pemerintah agar tanah lebih produktif, tapi sebagian lainnya meminta agar kebijakan tersebut dibarengi dengan sosialisasi yang jelas dan perlindungan terhadap hak waris masyarakat kecil.

Isu ini juga membuka diskusi lebih luas soal pentingnya literasi pertanahan, terutama di kalangan generasi muda yang mewarisi aset dari orang tua atau leluhurnya. Tanah bukan hanya aset fisik, tetapi juga bagian dari sejarah dan identitas keluarga.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved