Sutisna: Gaya Politik Jokowi, Neo Orde Baru, Membahayakan Bagi Masa Depan Demokrasi

Tanggal: 5 Agu 2024 18:58 wib.
Tampang.com - Istilah "Neo Orde Baru" kembali mencuat dan viral menjelang pelaksanaan Pilpres 2023. Istilah tersebut muncul dan dilayangkan oleh Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) untuk pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Dalam lokasi dan acara yang sama, yakni pertemuan dengan sukarelawan pendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Megawati Soekarnoputri Ketua Umum PDI-P,  dalam pidatonya juga menuding bahwa penguasa yang sekarang mirip pemerintahan Orde Baru, siapa lagi kalau bukan pemerintahan Jokowi yang kena tuding.

RI Punya Sistem Politik Baru "Neo Orde Baru"

Sebenarnya istilah Neo Orde Baru sudah lama ada sejak tahun 2004 dan dikemukakan oleh sosiolog asal Indonesia yakni George Junus Aditjondro. Diiyakan juga oleh Aisah Putri Budiarti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), bahwa isilah neo orba sudah sempat dilayangkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo 2019 lalu.

Jadi kata 'neo' dalam Neo Orba berarti 'baru', dalam bahasa basa latin sendiri neo memiliki makna modern atau baru. Ya bisa dibilang istilah orde baru di era masa kini.

Orde baru pada masa lampau sendiri merujuk kepada kepemimpinan Presiden Soeharto, yang memimpin sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1998. Jika ditotal Soeharto sudah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Meski pembangunan merata untuk masyarakat tetapi pada saat itu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat gencar. Tidak heran jika Soeharto dituding sebagai pemimpin otoriter.

Pada intinya istilah neo Orba adalah orde baru yang modern, kekinian, dan bisa diartikan positif maupun negatif oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Negatif karena pada faktanya pemerintahan orde baru di masa lampau memiliki sisi gelap yang berimbas terjadinya reformasi di tahun 1998, bahkan juga banyak terjadi pelanggaran  HAM, keterbatasan pers dalam mengemukakan pendapat, pemerintahan otoriter, pun tidak lepas dengan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Di masa sekarang menjelang Pilpres 2024, istilah neo orde baru kembali mencuat untuk mengkritisi fakta yang terjadi dan penguasa yang bertindak melakukan hal-hal yang semau sendiri.

Salah satu kehendak yang dinilai sudah menyimpang adalah, MK (Mahkamah Konstitusi) sudah meloloskan Gibran Raka Buming Raka menjadi cawapres. Putusan MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 memperbolehkan calon berusia di bawah 40 tahun menjadi cawapres atau capres, jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada. Keputusan yang dinilai melibatkan konflik kepentingan itu sangat mengecewakan masyarakat, bahkan juga terbilang menguntungkan salah satu dari paslon yang ada.

Masyarakat juga sudah pintar dan melek bahwa eks Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tersebut adalah adik ipar Jokowi, dan Gibran adalah keponakannya. Bagaimana? Cerminan sebuah neo orde baru sudah terlihat bukan? Bisa jadi juga sebelum itu, di mana Jokowi menjabat seorang Presiden, dan anaknya Gibran menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat militer juga membeberkan bahwa ada satu momok yang ditakuti pada masa Orde Baru, adalah Dwifungsi ABRI. Di mana para perwira militer turut masuk ke politik praktis dan menjabat menjadi posisi strategis di pemerintahan. Seperti yang kita tahu jika ABRI, merupakan organisasi politik terbesar dan terkuat yang ada di Indonesia.

Sementara Muhammad Sutisna, Co-Founder Forum Intelektual Muda melakukan kegiatan diskusi terkait neo orba di Pilpres 2024 mengungkapkan jika, "Dinasti politik yang tercermin dalam kasus Gibran di Pilpres 2024 jangan sampai terulang. Hal ini karena membahayakan bagi masa depan demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan rakyat secara merata".
Copyright © Tampang.com
All rights reserved