Strategi Kalut Kubu Jokowi Direspon Kalem Prabowo

Tanggal: 25 Apr 2018 14:31 wib.
Gatot Nurmantyo bertemu dengan seseorang yang selama ini dikenal sebagai bagian dari Ring 1 Jokowi. Pertemuan keduanya digelar tertutup di suatu tempat. Begitu pemberitaan yang bakal meramaikan headline media dalam beberapa waktu ke depan. Informasi tentang adanya pertemuan yang sebenarnya tertutup bahkan empat mata tersebut nantinya akan diungkapkan oleh pihak dari Ring 1 Jokowi. Pengungkapnya bisa pelaku pertemuan sendiri atau orang-orang lain di sekitar Jokowi yang mengaku mendapat informasi tentang adanya pertemuan tertutup tersebut. Empat paragraf di atas tadi bukan informasi A1. Tapi bukan pula gosip murahan. Empat paragraf yang mengawali artikel ini sebenarnya hanyalah sebuah fiksi yang dalam rentang waktu ke depan berpotensi besar menjadi sebuah realita. Benarkah Prabowo Menyodorkan “Proposal” Pencapresannya? Pada 7 April 2018 atau empat hari jelang digelarnya Rakornas Partai Gerindra, Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan pertemuan empat matanya dengan Prabowo Subianto yang dilangsungkan sehari sebelumnya di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Karuan saja berbagai macam spekulasi pun menggelinding. Apalagi, kepada media Luhut juga menceritakan jika dalam pertemuan tersebut juga menyinggung soal pencapresan Prabowo. Dan, mau tidak mau, Rakornas Gerindra termasuk juga pencapresan Prabowo berada di bawah bayang-bayang pertemuan empat mata Luhut-Prabowo. Sesuai rencana. Rakornas Gerindra pun berlangsung selama sehari pada 11 April 2018. Dan, masih belum bergeser dari rencana, rakornas parpol besutan Prabowo tersebut digelar tertutup bagi awak media. Media pun ramai-ramai memberitakan bahwa pecapresan Prabowo sudah dilaksanakan. Para pengamat, akademisi, dan juga politisi pun berlomba-lomba meluapkan opininya. Padahal, jelas-jelas, Prabowo belum dideklarasikan. Yang terjadi sebenarnya adalah serah terima mandat dari Gerindra kepada Prabowo. Dan, hal itu masih sesuai rencana seperti yang disampaikan Prabowo saat Gerindra melangsungkan rakernas pada 5 April 2018. Menariknya, setelah serah terima mandat tersebut, sosok Prabowo justru nyaris lenyap dari pemberitaan media. Sampai dua minggu setelah Rakornas Gerindra, tercatat hanya dua kali Prabowo diberitakan. Pertama saat menghadiri HUT ke- 66 Kopassus pada 16 April 2018. Kedua, ketika sepeda-sepedaan bersama Presiden PKS Sohibul Imam pada 21 April 2019. Menariknya lagi, Prabowo belum juga menghelat safari politiknya. Tidak ada tokoh-tokoh masyarakat yang disowaninya. Di tengah sikap Prabowo yang memunculkan tanda tanya, lewat Asia Times terbitan 15 April 2018 John McBeth, wartawan Selandia Baru yang pernah bertugas di Indonesia, mengungkapkan perihal materi pertemuan empat mata antara Luhut-Prabowo. McBeth menulis, dalam pertemuan itu, Prabowo diberitakan mempertimbangkan untuk menjadi cawapres jika pihak Jokowi memenuhi permintaannya. Prabowo, menurut laporan McBeth, meyetujuinya jika diberi peran untuk mengendalikan militer dan tujuh kursi di kabinet Jokowi. Atas permintaan Prabowo tersebut, Luhut menyatakan keberatannya. McBeth tidak mungkin asal menuliskan laporannya. Ia pastinya melaporkannya atas informasi yang didapatkan dari narasumber yang kredibel. Namun demikian, si narasumber belum tentu memasok informasi yang benar kepada McBeth. Artinya, ada kemungkinan si narasumber memberikan informasi sesat. Siapa pemasok informasi kepada McBeth sendiri tidak jelas, bisa si A, si B, si C, atau lainnya yang diketahui merupakan bagian dari Ring 1 Istana. Dan, menariknya, Luhut yang menjadi lawan bicara empat mata Prabowo tidak membenarkan tetapi juga tidak membantahnya. Tidak hanya sampai di situ, media pun kemudian memberitakan tetang adanya pertemuan empat mata kedua antara Prabowo dengan Luhut di Restored Sumire, Hotel Grand Hyatt, Jakarta pada 16 April 2018 atau sehari setelah laporan McBeth dipublikasikan. Jika materi pertemuan masih diragukan kebenarannya, tidak demikian dengan pertemuan itu sendiri. Sebab, jika melihat lokasi pertemuan yang digelar di tempat umum dan pastinya dilengkapi dengan sejumlah kamera CCTC, maka sangat tidak mungkin jika Luhut berbohong. Entah siapa di antara Prabowo dan Luhut yang menggagas pertemuan tertutup di tempat umum yang dilengkapi kamera CCTV. Namun nampak benar jika Luhut ingin menunjukkan jika memang telah terjadi pembicaraan penting antara dirinya dengan Prabowo. Hal tersebut terlihat ketika Luhut memperlihatkan kepada pewarta jika dirinya tengah bertelepon dengan seseorang yang dipanggilnya “Wok”. Panggilan jarak jauh itu diterima Luhut di tengah acara pertemuan musim semi (Spring Meeting) Internasional Monetary Fund (IMF)-World Bank (WB) di Washington DC, Amerika pada 18 April 2018. Kata Luhut kepada wartawan, ia ditelepon oleh Prabowo. Benarkah Luhut menerima telepon dari nomor milik Prabowo? Jawabannya, tidak tahu. Sebab siapa pun juga bisa dengan mudah memeragakan bila dirinya sedang menerima telepon. Tetapi, sama seperti sebelum-sebelumnya, Prabowo lebih memilih untuk tidak mengomentarinya. Mantan prajurit Kopassus itu terus merunduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Seolah ingin menguatkan narasi jika Prabowo tertarik menjadi cawapres Jokowi, pada 20 April 2018, Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengungkapkan pertemuannya dengan Ketua tim pemenangan Pilpres Partai Gerindra, Sandiaga Uno. Kata pria yang akrab disapa Rommy itu, Sandi datang menemuinya pada 19 April 2018 untuk membahas masalah Pilpres 2019. Salah satunya posisi Prabowo untuk cawapres Jokowi. Berbeda dengan Prabowo, Sandi sudah menyampaikan bantahannya. Menurut Sandi, Rommy hanya menanyakan informasi tentang pertemuan Prabowo-Luhut yang dijawab oleh Sandi “tidak tahu”. Benar tidaknya Sandi dan Rommy membahas pencawapresan Prabowo tidak ada yang mengetahuinya kecuali keduanya dan orang-orang yang mendengar langsung atau rekaman pembicaraan antara keduanya. Upaya Istana Membentuk “All The President's Men” Isu Prabowo bersedia menjadi cawapres bagi Jokowi bisa dibilang sebagai kelanjutan dari narasi capres tunggal yang sejak beberapa bulan sebelumnya dikembangkan pihak-pihak dari lingkaran kekuasaan. Dalam narasi capres tunggal, semua tokoh diposisikan sebagai cawapres untuk Jokowi, termasuk Prabowo. Tetapi, tanpa disadari oleh pelukisnya, sebenarnya narasi capres tunggal justru dapat memukul balik Jokowi. Sebab, terjadi nya capres tunggal pada Pilpres 2019 sama saja dengan membenarkan tudingan jika Jokowi telah melakukan serangkaian operasi guna melemahkan lawan-lawan politiknya. Hanya saja, bagi Prabowo, isu tentang terjadinya pertemuan dan pembicaraan antara Prabowo dengan Luhut jauh lebih serius ketimbang narasi capres tunggal. Sebab, dalam isu pertemuan Prabowo-Luhut, juga diwarnai dengan penggambaran jika Prabowo telah berada di bawah kendali Istana. Bahkan, Prabowo pun digambarkan tidak mempunyai nilai tawar sama sekali. Hal ini dikesankan lewat pernyataan Luhut yang mengaku menolak “proposal” Prabowo. Sangat wajar jika kubu Jokowi berupaya keras menggembosi setiap kekuatan yang berpotensi menjegal langkah Jokowi. Bagaimana pun juga tingkat elektabilitas Jokowi masih mangkrak di zona rawan. Survei Litbang Kompas yang dirilis pada 23 April 2018 yang menyebut tingkat elektabilitas Jokowi se besar 56 persen semakin menguatkan tanda-tanda kekalahan Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Tingkat elektabilitas Jokowi ini jauh disbanding yang dimilikinya SBY jelang masa Pilpres 2009 dimulai. Ketika itu, elektabilitas SBY tercatat di atas 70 persen. Sampai- sampai pihak SBY berani sesumbar “Pilpres 1 Putaran”. Tetapi, sering dengan bergulirnya masa kampanye, elektabilitas SBY pun tergerus. Dan, menurut perhitungan resmi KPU, suara yang diraih SBY adalah 62 persen. Padahal, ketika itu satu-satunya isu yang paling gencar dihantamkan kepada SBY adalah isu neolib. Sementara, saat ini terlalu banyak isu yang bisa diterpakan pada Jokowi. Dari isu yang sulit dicerna sampai isu yang paling mudah dikunyah. Menyandingkan Jokowi yang dianggap sudah gagal mewujudkan janji-,janji kampanyenya dengan Prabowo yang belum tercemari oleh kegagalan tentu saja sangat mengusik kubu Jokowi. Hal yang sama sekali berbeda jika Prabowo dipandang sebagai bagian, atau bahkan berada di bawah, rezim Jokowi. Karenanya, narasi yang sedang dikembangkan dari isu pertemuan Prabowo-Luhut merupakan salah satu upaya untuk menekan ancaman terhadap Jokowi. Tetapi, Prabowo tahu persis jika reaksinya atas isu pertemuannya dengan Luhut akan selalu dipersalahkan. Kalau Prabowo membantahnya, dibilang ngeles oleh pro Jokowi. Sebaliknya, jika Prabowo membenarkannya maka ia akan ditinggal oleh para pendukungnya. Karenanya, pilihan Prabowo yang tidak mengomentari pemberitaan tentang isu pencapresannya sudah sangat tepat. Semakin kalem Prabowo dalam menanggapi isu yang dapat memojokkannya tersebut, semakin sulit bagi lawan untuk menduga-duga strateginya. Kubu Jokowi dibuat bingung dengan langkah strategis yang akan diambil Prabowo. Karena, setidaknya, Prabowo punya tiga opsi, maju sebagai capres, sebagai king maker, atau bisa juga mengambil posisi netral. Kebingungan kubu Jokowi atas responden Prabowo ini semakin terbaca dari digelarnya pertemuan tertutup, kali ini, antara Wiranto dengan SBY pada 19 April 2018. Menariknya, modus yang hampir serupa pun terulang. Kali ini pertemuan tertutup tersebut dibocorkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo sebelum pertemuan berlangsung. Dan menurut pemberitaan terakhir, Jokowi sudah bertemu dengan elit PKS. Uniknya kali ini Jokowi sendirilah yang mengungkapkannya. Pada hari yang sama, politisi PDIL, Erwin Moeslimin Singajuru, mengungkapkan pertemuannya dengan Habib Rizieq Syihab di Makkah, Arab Saudi. Jika membaca trennya, yaitu pembocoran pertemuan tertutup atau rahasia oleh pihak Istana, ada kemungkinan suatu hari nanti akan ada pihak Istana yang membocorkan tentang pertemuan rahasianya dengan Gatot Nurmantyo. Sasarannya jelas, kubu Jokowi ingin membentuk image “ All The President's Men” kepada siapa pun yang diposisikan berseberangan. Tetapi, pertanyaannya, apakah operasi “All The President’s Men” sanggup melepaskan Jokowi dari ancaman kekalahannya dalam Pilpres 2019 nanti?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved