Soroti Tatib DPR, Ketua MKMK, Rusak Negara Ini!
Tanggal: 8 Feb 2025 17:29 wib.
Tampang.com | Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna melontarkan kritik tajam terhadap revisi Tata Tertib (Tatib) DPR Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan DPR kewenangan untuk mengevaluasi pejabat publik melalui mekanisme fit and proper test.
Dalam pernyataannya, Palguna menilai revisi Tatib tersebut bermasalah secara hukum karena melampaui kewenangan DPR dan bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Cukup mahasiswa hukum semester tiga yang jawab pertanyaan ini. Dari mana ilmunya ada tatib bisa mengikat keluar? Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan check and balances?" tegas Palguna dalam diskusi publik, Selasa (6/2/2025).
Palguna menilai bahwa perubahan aturan ini bisa mengancam independensi lembaga negara lainnya. Jika DPR diberikan kewenangan mengevaluasi pejabat publik secara luas, hal ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
"Jika mereka mengerti tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945), tetapi di atas hukum yang mereka suka dan maui serta mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini, bos!" lanjutnya.
Sejumlah pakar hukum juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, DPR tidak boleh seenaknya membuat aturan yang melampaui batas kewenangannya.
"DPR itu pembuat undang-undang, bukan eksekutor. Jika DPR bisa mengevaluasi pejabat publik di luar yang sudah diatur dalam konstitusi, ini akan menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita," kata Jimly.
Revisi Tatib DPR ini dianggap bertentangan dengan prinsip check and balances, yang seharusnya menjadi mekanisme utama dalam demokrasi. Dengan mengambil kewenangan lebih besar, DPR berpotensi melemahkan peran lembaga lain, termasuk lembaga yudikatif dan eksekutif.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari menyoroti bahwa aturan ini bisa membuat DPR lebih leluasa dalam mengontrol lembaga negara lain yang semestinya independen.
"DPR harus memahami batasan kekuasaannya. Jangan sampai DPR justru menjadi lembaga yang superior dan bisa mengendalikan pejabat publik di luar mekanisme yang seharusnya," ujarnya.
Melihat polemik yang berkembang, sejumlah pihak mulai mendorong pengujian yudisial (judicial review) terhadap revisi Tatib DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini dianggap perlu untuk memastikan bahwa aturan yang dibuat DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi hukum juga berencana mengajukan gugatan guna membatalkan aturan tersebut.
"Kita harus mengawal proses ini agar tidak ada lembaga yang bertindak sewenang-wenang dan melanggar prinsip dasar demokrasi," ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Feri Amsari.
Revisi Tatib DPR Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan evaluasi pejabat publik melalui fit and proper test mendapat kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna. Ia menilai aturan ini melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan berpotensi merusak sistem demokrasi di Indonesia.
Muncul desakan agar aturan ini diuji di Mahkamah Konstitusi guna memastikan DPR tidak melampaui kewenangannya. Jika dibiarkan, revisi ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.