Siapa yang Kebakaran Jenggot, Ridwan Kamil atau PPS UIN Sunan Gunung Djati?
Tanggal: 14 Sep 2017 11:50 wib.
"Kenapa harus mempertanyakan dan agak seperti kebakaran jenggot saat popularitasnya turun? Memangnya, orang lain gak boleh populer? hanya beliau yang bisa populer?," ujar Asep Saeful Muhtadi yang mewakili Tim Survei Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati (PPS UIN SGD) kepada Republika.co.id.
Republika.co.id pun menulis, "Asep menjelaskan, popularitas ditentukan oleh banyak hal. Salah satunya, karena responden yang disurvei orangnya berbeda. Bahkan, responden survei bisa berbeda 50 persen. Selain itu, ia mengatakan popularitas seseorang di pengaruh juga oleh calon yang lain. Saat ada calon yang popularitasnya naik, pasti di sisi lain ada calon yang popularitasnya turun".
"Satu sama lain akan mempengaruhi kan harus 100 persen," tegas Asep masih dari link yang sama.
Apa ada yang aneh dengan penjelasan panjang kali lebar yang disampaikan Tim Survei PPS UIN SGD lewat perwakilannya itu?
Sebelum membuka Republika.co.id, saya lebih dulu membuka KOMPAS.COM. Saya klik sana-sini untuk melengkapi data sebelum menulis artikel "Pilgub Jabar 2018: Seperti Yance, Dedi Mulyadi Bakal Kalah"
KOMPAS.COM menulis, "Dengan sampel 5.000 warga Jawa Barat yang sudah memiliki hak pilih, pada survei kedua, tingkat popularitas Deddy Mizwar berada pada ranking pertama menggeser Ridwan Kamil menjadi posisi kedua.
"Popularitas Deddy Mizwar meningkat dari 18,65 persen pada survei pertama, survei kedua menjadi 19,71 persen. Sedangkan Ridwan Kamil menurun dari 24,28 persen pada survei pertama menjadi 18,49 persen pada survei kedua," jelas Salim.
Pun ketiga bakal calon lainnya mengalami pergeseran. Popularitas Dede Yusuf meningkat dari 15,68 persen menjadi 17,41 persen, Iwa Karniwa meningkat dari 8,99 persen menjadi 13,88 persen, dan Dedi Mulyadi naik dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen" (copas langsung dari KOMPAS.COM).
Beda dengan Republika.co.id, KOMPAS.COM memperoleh rilis survei tersebut dari Direktur PPS UIN SGD, Agus Salim Mansyur pada 4 Juli 2017.
Dan, menurut KOMPAS.COM, survei dilakukan oleh PPS UIN SGD merupakan hasil survei kali keduanya terhadap bakal calon gubernur-wakil gubernur Jawa Barat periode 2018-2023. Survei digelar dalam jangka waktu 22 Mei-4 Juni 2017.
Saat membaca KOMPAS.COM, saya mencium keanehan pada angka tingkat popularitas semua bakal calon Gubernur Jabar. Bagaimana mungkin tingkat popularitas semua balon di bawah 20%. Bahkan, popularitas Deddy Mizwar hanya 19,71%. Dan, Dede Yusuf hanya 17,41%.
Begitu menggulung laman KOMPAS.COM, di situ tertulis, "Pada survei pertama, tingkat elektabilitas Ridwan Kamil melejit 55,11 persen, tetapi pada survei kedua menurun menjadi 40,40 persen. Sedangkan elektabilitas Deddy Mizwar meningkat dari 16,30 persen menjadi 22,38 persen pada survei kedua.
Dede Yusuf dari 11,68 persen meningkat menjadi 12,57 persen. Iwa Karniwa melejit dari 2,55 persen menjadi 10,44 persen. Sedangkan elektabilitas Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua."
Tingkat elektabilitas Ridwan Kamil 40,40%. Sementara Deddy Mizwar 22,38%.
Bagaimana mungkin elektabilitas kedua balon tersebut di atas tingkat popularitasnya?
Dan, kalau tingkat elektabilitas seluruh balon itu dijumlahkan hasilnya di atas 100%.
Bagaimana bisa?
Jangan-jangan KOMPAS.COM coba-coba main plintir hasil survei seperti yang pernah dilakukan oleh Metrotvnews.com (Seperti yang saya tulis di SINI)?
Setelah klik sana-sini, termasuk dari Detik.com. Ternyata, isinya sama seperti yang dipublikasikan KOMPAS.COM.
Syukurlah, KOMPAS.COM dan media online lainnya tidak seperti Metrotvnews.com yang mengubah tingkat popularitas menjadi elektabilitas. Mungkin Metrotvnews.com tidak mengetahui perbedaan antara popularitas dengan elektabilitas. Sama dengan tidak mengetahuinya media ini pada perbedan antara "kata" dengan "karakter".
Kalau begitu, mungkin PPS UIN UGD-lah yang salah.
Logikanya, tingkat popularitas pastinya di atas atau sama dengan tingkat elektabilitas. Tidak mungkin popularitas lebih kecil atau rendah dari elektabilitas. Sebab, balon yang dikenali oleh responden belum tentu dipilih oleh responden yang bersangkutan.
Misalnya, ketika ditanya tentang balon Gubernur Jabar yang dikenalinya, satu responden menjawab Ridwan Kamil, Dedy Mizwar, Desy Ratnasari, Gatot Swandito, dll.
Jawaban responden pada pertanyaan ini bisa lebih dari satu atau multiple. Pada kuesioner, pertanyaan ini biasanya ditandai dengan huruh "M"
Karena jawaban responden bisa lebih dari satu, maka total tingkat popularitas seluruh balon bisa lebih dari 100%.
Sementara ketika ditanya siapa balon Gubernur Jabar yang akan dipilih jika Pilgub Jabar diselenggarakan pada hari ini, jawaban responden hanya satu nama. Deddi Mizwar saja atau Gatot Swandito saja. (Nama Gatot Swandito bisa saja disebut oleh responden jika pertanyaan tersebut bersifat terbuka)
Pada kuesioner, pertanyaan ini biasanya ditandai dengan huruh "S". Kenapa, karena pada saat pemilihan, pemilih hanya sah mencoblos satu foto pasangan calon.
Karena jawaban responden hanya satu, maka total tingkat elektabilitas seluruh balon tidak mungkin lebih dari 100%.
Jawaban tunggal atau satu juga diberikan responden saat menjawab katagori pertanyaan "Top of Mind". Karenanya, sama seperti tingkat elektablitas, total Top of Mind seluruh balon pun tidak mungkin lebih dari 100%.
Top of Mind itu kira-kira seperti ini.
"Kalau bicara tentang calon Gubernur Jabar 2018, siapakah yang pertama kali terlintas dalam pikiran Ibu?"
Responden yang seorang ibu itu menjawab, "Gatot Swandito."
Kemudian, saat masuk ke pertanyaan elektabilitas, "Siapakah balon Gubernur Jabar yang dipilih jika Pilkada diselenggarakan pada hari ini?"
Si Ibu menjawab, "Dede Yusuf."
Saat kedua jawaban Si Ibu digali, "Kenapa balon Gubernur yang pertama terlintas dalam pikiran Ibu adalah Gatot Swandito, tetapi, yang ibu pilih adalah Dede Yusuf?"
Jawaban Si Ibu, "Ibu lebih memilih Gatot Swandito untuk jadi calon mantu Ibu."
Apakah kejanggalan hasil survei PPS UIN SGD dikarenakan tertukarnya "popularitas" dengan "elektabilitas"?
Baca lagi,"Popularitas Dede Yusuf meningkat dari 15,68 persen menjadi 17,41 persen, Iwa Karniwa meningkat dari 8,99 persen menjadi 13,88 persen, dan Dedi Mulyadi naik dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen."
Lanjutkan dengan, "Sedangkan elektabilitas Deddy Mizwar meningkat dari 16,30 persen menjadi 22,38 persen pada survei kedua.
Dede Yusuf dari 11,68 persen meningkat menjadi 12,57 persen. Iwa Karniwa melejit dari 2,55 persen menjadi 10,44 persen. Sedangkan elektabilitas Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua."
Perhatikan: (popularitas) Dedi Mulyadi naik dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen." Dan "Sedangkan elektabilitas Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua"
Popularitas Dedi pada survei kedua adalah 11,60% sedangkan elektabilitasnya 10.06%.
Kalau popularitas dan elektabilitas Dedi tersebut tertukar, maka seharusnya popularitas Dedi 10,06% sedangkan elektabilitasnya 11,60%.
Sederhananya, popularitas Dedi di bawah elektabilitasnya. Jadi,.ada responden yang tidak mengenal Dedi tetapi memilihnya. Dalam sebuah survei, hal ini sangat tidak mungkin.
Balik lagi ke berita Republika.co.id. "Asep menjelaskan, popularitas ditentukan oleh banyak hal. Salah satunya, karena responden yang disurvei orangnya berbeda. Bahkan, responden survei bisa berbeda 50 persen. Selain itu, ia mengatakan popularitas seseorang di pengaruh juga oleh calon yang lain. Saat ada calon yang popularitasnya naik, pasti di sisi lain ada calon yang popularitasnya turun".
"Satu sama lain akan mempengaruhi kan harus 100 persen," tegas Asep masih dari link yang sama.
Sejak kapan popularitas seseorang dipengaruhi juga oleh popularitas orang lain? Dan sejak kapan harus 100%?
Bukankah meski muncul sejumlah nama balon presiden, popularitas Rhoma Irama tetap di atas 95%. Bahkan ada lembaga survei yang mengatakan popularitas Rhoma 98%. Popularitas yang nyaris sempurna.
Dan, popularitas yang dimiliki Rhoma itu tidak bakal menurun meski popularitas Jokowi, Prabowo, Gatot Swandito, dan tokoh-tokoh lainnya mengalami peningkatan.
Kalau pun suatu saat nanti popularitas Jokowi, Prabowo, dan lainnya sama-sama sudah mencapai angka 95%, tingkat popularitas Rhoma bisa saja masih di seputaran angka 98%.
Beda soal lagi dengan tingkat elektabilitas yang cenderung naik-turun tergantung banyak faktor. Elektabilitas Si A, misalnya, 40%. Elektabilitas Si B 30%, Elektabilitas Si C 10%, Tidak menjawab atau lainnya 20%. Ketika Elektabilitas Si A naik menjadi 30%, misalnya, maka elektabilitas Si B dan/atau Si C pasti menurun. Elektabilitas harus 100%.
Tetapi, bisa jadi, ketika Elektabilitas Si A turun jadi 5%, elektabilitas Si B dan Si C tetap di angka 30% dan 10%. Dengan demikian angka tidak menjawab atau lainnya bertambah menjadi 55%. Sekali lagi, elektabilitas harus 100%.
Begitulah popularitas dan elektabilitas yang dipahami oleh orang awam se[erti saya.
Tim Survei UIN SGD tidak sendiri. Sebelumnya, Saya menuliskan kekacauan hasil survei CSIS tentang Pilkada DKI 2017 dalam artikel INI. Dan ada sekian banyak lagi hasil survei yang diobok-abok lewat sejumlah artikel yang ditayangkan di Kompasiana.
Tetapi, saya salut dengan CSIS, entah ada kaitannya atau tidak, setelah artikel itu tayang dan ditanyakan ke perilisnya, CSIS tidak pernah lagi merilis hasil surveinya terkait Pilkada DKI 2017.
Karenanya, saya ingin bertanya pada Kang Asep, setelah artikel ini ditayangkan, siapa yang kebakaran jenggot, Kang Emil atau PPS UIN SGD?
Terakhir, kepada siapa pun di antara keduanya, selamat membakar jenggot.
Sumber:
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/59b4b49508e6ba467c1036d2/sebelum-bilang-ridwan-kamil-kebakaran-jenggot-baiknya-pps-uin-ugd-pelajari-lagi-hasil-surveinya