Sejarah Program Nuklir Iran: Dulu Disokong AS
Tanggal: 26 Jun 2025 12:09 wib.
Program nuklir Iran dimulai dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat di era 1950-an. Setelah Perang Dunia II, banyak negara di seluruh dunia, termasuk Iran, melihat potensi energi nuklir sebagai sumber daya untuk pembangunan. Pada tahun 1957, Iran menjadi salah satu negara pertama yang menandatangani kesepakatan dengan pemerintah AS untuk mengembangkan energi nuklir melalui program "Atoms for Peace". Dalam konteks ini, Iran diharapkan dapat memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai, seperti produksi energi listrik dan penggunaan dalam bidang kedokteran.
Dukungan dari Amerika Serikat termasuk penyediaan perangkat keras, keahlian teknis, serta pendanaan untuk pembangunan fasilitas nuklir. Perjanjian ini menunjukkan kedekatan antara kedua negara dan menggambarkan visi yang optimis tentang potensi nuklir Iran. Bahkan, pada awal tahun 1970-an, Iran berencana untuk membangun 23 reaktor nuklir sebagai bagian dari program energinya.
Namun, situasi berubah drastis setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Dengan jatuhnya rezim Shah dan bangkitnya pemerintahan yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini, kerja sama nuklir antara Iran dan Amerika Serikat runtuh sepenuhnya. Dalam periode ini, Iran menuduh AS dan negara-negara Barat lainnya berusaha mengintervensi urusan dalam negerinya. Setelah revolusi, banyak program yang sebelumnya didukung AS dihentikan atau dibekukan, dan Iran mulai menghadapi isolasi internasional.
Sejak saat itu, program nuklir Iran mulai dituding kurang transparan. Meskipun negara ini menyatakan bahwa tujuan dari program nuklirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan energi dan penelitian ilmiah, banyak negara dan organisasi internasional merasa skeptis. Mereka khawatir bahwa Iran sedang mengejar kemampuan untuk mengembangkan senjata nuklir di balik kedok program damai. Tuduhan ini diwarnai oleh serangkaian peristiwa yang mencuatkan ketidakpercayaan, antara lain kegiatan pengayaan uranium yang dianggap melanggar perjanjian internasional.
Pada tahun 2002, sebagian dari program nuklir Iran terungkap melalui laporan yang diterbitkan oleh kelompok oposisi. Informasi tersebut memicu kontroversi global dan meningkatkan kekhawatiran mengenai tujuan rahasia Iran. Sejak saat itu, berbagai sanksi internasional dijatuhkan terhadap Iran, terutama oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta oleh negara-negara Barat, yang semakin memperburuk hubungan antara Iran dan komunitas internasional.
Meski Iran menegaskan tujuannya damai, kekhawatiran global terus berlanjut hingga hari ini. Selama bertahun-tahun, negosiasi diplomatik dilakukan untuk mencapai kesepakatan tentang program nuklir Iran. Salah satu pencapaian penting dalam hal ini adalah penandatanganan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada tahun 2015, di mana Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya sebagai imbalan atas pengurangan sanksi internasional. Namun, kesepakatan ini mengalami kebuntuan setelah Amerika Serikat menarik diri dari JCPOA pada tahun 2018 di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Krisis nuklir Iran menjadi isu geopolitik yang terus memanas, melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional dengan kepentingan yang sangat beragam. Negara-negara seperti Israel dan Arab Saudi sangat khawatir bahwa Iran yang memiliki senjata nuklir akan mengganggu keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Di sisi lain, Iran tetap berkomitmen untuk mempertahankan haknya atas teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Dalam konteks yang lebih luas, sejarah program nuklir Iran mencerminkan dinamikanya yang kompleks dan seringkali paradoks. Dari dukungan Amerika Serikat di awal hingga tuduhan kurang transparan setelah Revolusi 1979, perjalanan program ini terus menjadi topik yang hangat dan penting dalam percaturan politik global. Wartawan dan analis politik masih terus mengamati perkembangan ini dengan seksama, menanti langkah-langkah selanjutnya dalam saga nuklir Iran.