Sumber foto: Kompas.com

RUU Polri dan RUU KUHAP: Ancaman Absolutisme Kekuasaan?

Tanggal: 24 Mar 2025 09:28 wib.
Tampang.com | Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus menjadi sorotan. DPR RI mengusulkan perubahan besar dalam sistem hukum Indonesia, termasuk memberikan kewenangan mutlak kepada Polri dalam penyidikan dan keamanan nasional. Namun, usulan ini memicu kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil dan pakar hukum.

Polri Diberi Kewenangan Mutlak dalam Penyidikan

RUU Polri dan RUU KUHAP mengatur bahwa kewenangan penyidikan sepenuhnya berada di bawah kendali Polri. Ini berarti lembaga lain, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Kejaksaan, tidak lagi memiliki wewenang penyidikan, kecuali dalam kasus tertentu.

Jika RUU ini disahkan, hanya beberapa lembaga yang berhak melakukan penyidikan:



KPK → Menangani tindak pidana korupsi


TNI Angkatan Laut → Menangani kejahatan di bidang kelautan, perikanan, dan pelayaran


Kejaksaan → Hanya boleh menyidik kasus pelanggaran HAM berat



Kejaksaan yang sebelumnya berperan aktif dalam mengungkap kasus korupsi besar akan kehilangan kewenangan penyidikan dan hanya berfungsi dalam tahap penuntutan dan eksekusi.

Implikasi bagi Pemberantasan Korupsi

Sejumlah pakar menilai bahwa pembatasan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan korupsi adalah langkah mundur bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan berhasil membongkar berbagai skandal korupsi besar, seperti:



Kasus Pertamina Patra Niaga → Rp 968,5 triliun


Kasus PT Timah → Rp 300 triliun


Kasus BLBI → Rp 138 triliun


Kasus Duta Palma → Rp 78 triliun


Kasus PT ASABRI → Rp 22 triliun


Kasus PT Jiwasraya → Rp 17 triliun



Keberhasilan ini menimbulkan pertanyaan besar: jika kewenangan penyidikan Kejaksaan dicabut, apakah Polri mampu dan mau mengungkap kasus korupsi dengan skala sebesar ini?

Polri sebagai Pemegang Kendali Keamanan Nasional

RUU Polri juga mengusulkan agar Polri menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan nasional. Padahal, dalam berbagai undang-undang, tugas keamanan juga berada di bawah wewenang kementerian, lembaga negara, dan bahkan TNI dalam bidang tertentu.

Jika ini diterapkan, Polri akan memiliki kontrol penuh atas:



Penanganan konflik dalam negeri


Keamanan di sektor tertentu yang sebelumnya menjadi tanggung jawab kementerian terkait


Pengawasan dan penegakan hukum terhadap anggotanya sendiri



Ancaman Absolutisme dan Demokrasi

Banyak pihak khawatir bahwa RUU Polri dan RUU KUHAP ini akan menciptakan absolutisme kekuasaan, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dalam sejarah, berbagai revolusi terjadi karena kesewenang-wenangan penguasa, seperti Revolusi Perancis (1789) yang melahirkan sistem demokrasi modern.

Teori pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu menekankan bahwa eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berdiri secara independen untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Namun, dengan adanya RUU Polri dan RUU KUHAP, prinsip checks and balances justru terancam, karena kekuasaan hukum dan keamanan terpusat pada satu lembaga saja.

Perlunya Keseimbangan Kewenangan

Agar tidak menciptakan lembaga dengan kekuasaan absolut, DPR dan pemerintah perlu meninjau ulang RUU ini dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat. Otoritas penyidikan harus tetap tersebar di beberapa lembaga agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga.

Masyarakat sipil diharapkan terus mengawal pembahasan RUU Polri dan RUU KUHAP agar tidak melahirkan kebijakan yang merugikan sistem hukum dan demokrasi Indonesia. Kesewenang-wenangan harus dicegah sebelum merusak keadilan dan kepercayaan publik terhadap hukum.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved