RKUHP & UU PDP: Kontrol Negara atas Pikiran dan Data
Tanggal: 21 Mei 2025 08:57 wib.
Tampang.com | Dalam perkembangan hukum di Indonesia, dua buah regulasi penting yang tengah menjadi sorotan adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Kedua regulasi ini mencerminkan bagaimana negara berusaha mengatur dan mengontrol aspek-aspek dalam kehidupan individu, baik dalam konteks hukum pidana maupun perlindungan data. Sementara RKUHP mencakup berbagai aspek keadilan sosial dan keamanan, UU PDP menekankan pentingnya privasi dan perlindungan data pribadi di era digital.
RKUHP, sebagai pengganti KUHP yang sudah ada sejak zaman kolonial, mengalami banyak revisi dan perdebatan. Salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan adalah potensi penegakan hukum yang memberi kekuasaan lebih kepada negara. RKUHP mencakup berbagai pasal yang berkaitan dengan kontroversi, seperti pasal tentang larangan penghinaan terhadap penguasa dan lambang negara, yang dapat digunakan untuk melakukan sensor terhadap kritik publik. Hal ini memunculkan keraguan tentang kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di Indonesia, di mana ketidakjelasan definisi dari beberapa pasal memberikan banyak ruang bagi penafsiran subjektif oleh aparat hukum.
Di sisi lain, UU PDP yang baru disahkan diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih pada data pribadi masyarakat. Dalam era digital saat ini, data pribadi menjadi komoditas yang sangat berharga dan rentan terhadap penyalahgunaan. Dengan adanya UU PDP, diharapkan individu memiliki kontrol lebih terhadap data pribadi yang mereka miliki. Namun, di balik niat baik untuk melindungi data pribadi, muncul pertanyaan besar mengenai sejauh mana negara akan campur tangan dalam pengelolaan data tersebut. Apakah regulasi ini akan berfungsi untuk melindungi rakyat, atau justru sebagai alat untuk memantau dan mengontrol warganya?
Kekhawatiran terhadap kontrol negara atas pikiran dan data menjadi semakin nyata dalam konteks RKUHP dan UU PDP. Dalam RKUHP, potensi sensor dapat terjadi ketika kritik terhadap pemerintah diatur sedemikian rupa sehingga bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Dalam waktu yang sama, arahan penyimpanan data dalam UU PDP juga memberikan wewenang kepada negara untuk meminta akses terhadap data-data tertentu yang dianggap diperlukan untuk kepentingan keamanan negara. Hal ini berpotensi menciptakan situasi di mana individu merasa tertekan dan dibayangi oleh kemungkinan pengawasan terhadap aktivitas dan interaksi mereka.
Melihat lebih jauh, RKUHP dan UU PDP bisa dilihat sebagai alat untuk membangun narasi tertentu yang mengedepankan kepentingan negara. Ketika RKUHP membatasi ruang gerak individu dalam menyampaikan pendapat, UU PDP mengatur bagaimana data individu dapat dilindungi, tetapi tetap memberi ruang bagi intervensi negara dalam hal pemantauan data. Dengan demikian, masyarakat dihadapkan pada dilema: antara mendapatkan perlindungan hukum sekaligus konsekuensi dari keterbatasan dalam berekspresi, dan hak atas privasi yang bisa beresiko pada pengawasan.
Diskusi seputar RKUHP dan UU PDP menunjukkan bahwa pengaturan hukum tidak hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga mencerminkan dinamika kekuasaan antara negara dan individu. Dalam konteks ini, bagaimana masyarakat akan memanfaatkan, mengawal, dan melindungi hak-hak mereka dalam menghadapi dua regulasi ini akan menjadi tantangan tersendiri. Terlebih lagi, penting untuk memperhatikan bagaimana kedua regulasi ini akan diimplementasikan dan disikapi oleh masyarakat luas. Dalam era informasi dan teknologi yang semakin maju, kontrol atas pikiran dan data pribadi menjadi isu yang tidak dapat diabaikan.