Sumber foto: pinterest

Revolusi Kebudayaan Tiongkok: Saat Rakyat Menjadi Musuh Negara

Tanggal: 14 Mei 2025 20:41 wib.
Revolusi Kebudayaan Tiongkok, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1976, merupakan salah satu periode paling tumultuous dalam sejarah modern Tiongkok. Dipimpin oleh Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Tiongkok, revolusi ini bertujuan untuk memperkuat ideologi komunis dan memberantas elemen-elemen yang dianggap kontra-revolusi. Dalam prosesnya, rakyat yang seharusnya menjadi pendukung negara justru dijadikan musuh, menciptakan ketegangan yang luar biasa di tengah masyarakat.

Salah satu kekuatan yang muncul selama Revolusi Kebudayaan adalah kelompok yang dikenal sebagai Red Guard. Komite mahasiswa ini memiliki tugas untuk menegakkan ajaran Mao dan mendapatkan orang-orang yang dianggap pengkhianat atau "musuh rakyat." Red Guard terdiri dari siswa-siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi yang dipicu oleh semangat anti-bourgeois dan ketidakpuasan terhadap elit intelektual. Dalam semangat revolusi, mereka melakukan penyerangan fisik dan mental terhadap para intelektual, guru, dan bahkan anggota keluarga mereka sendiri yang dianggap menyimpang dari ideologi komunis.

Represi menjadi kata kunci selama periode ini. Mereka yang dituduh sebagai musuh negara sering kali menghadapi penganiayaan, pemukulan, bahkan hingga kematian. Banyak orang yang terpaksa bersembunyi atau melarikan diri. Sekolah ditutup, budaya tradisional dihancurkan, dan banyak artefak yang berharga dimusnahkan. Sebagai hasilnya, Tiongkok mengalami hilangnya generasi yang terdidik, yang memicu dampak jangka panjang bagi negara.

Sementara Revolusi Kebudayaan menargetkan golongan elit, dampaknya meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Setiap orang berpotensi dicap sebagai musuh negara—baik petani, buruh, maupun anggota partai itu sendiri. Bahkan orang-orang yang telah setia selama bertahun-tahun kepada Partai Komunis bisa menjadi korban kebangkitan gerakan ini. Rasa curiga melanda masyarakat, menyebabkan solidaritas mengalami keretakan yang mendalam. Lingkungan sosial yang sangat represif membuat orang-orang terpaksa saling mengkhianati satu sama lain untuk menyelamatkan diri mereka dari amukannya.

Mao Zedong sendiri berperan aktif dalam menyalakan api Revolusi Kebudayaan ini. Ia memperkenalkan "empat pilar" yang menjadi pedoman bagi Red Guard, yakni sosialisme, Marxisme-Leninisme, kolektivisme, dan revolusi. Dalam banyak pidatonya, Mao menggambarkan musuh sebagai ancaman terhadap kemajuan dan kestabilan negara. Ini menciptakan kondisi di mana masyarakat diajarkan untuk tidak hanya mencurigai, tetapi juga untuk memusuhi satu sama lain. Langkah-langkah ini mengukuhkan posisi Mao sebagai penguasa absolut, namun juga membawa banyak kerusakan bagi masyarakat.

Selama periode ini, propaganda menjadi alat utama untuk mendukung tujuan revolusi. Media, buku, dan film semua mendoktrinasi penduduk untuk berjuang melawan musuh-musuh ideologi. Setiap aspek kehidupan menjadi terpengaruh, dari pendidikan hingga seni, di mana semua karya budaya harus sejalan dengan prinsip-prinsip komunis. Hal ini menciptakan lingkungan di mana inovasi dan kreativitas terbunuh, menggantikan kebebasan berpendapat dengan ketakutan dan conformisme.

Setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976, Tiongkok mulai menjalani proses rekonsiliasi terhadap traumatatisasi yang terjadi selama Revolusi Kebudayaan. Namun, kenangan pahit dan dampaknya masih terasa, dan menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Era ini menjadi contoh jelas bagaimana ambisi kekuasaan dapat merusak tidak hanya individu, tetapi juga tatanan sosial dan budaya suatu bangsa. Rakyat, yang seharusnya menjadi pilar utama pembangunan, berubah menjadi musuh yang harus dihancurkan dalam nama ideologi dan kekuasaan.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved