Revisi KUHP: Ketika Rakyat Dipenjara oleh Naskah
Tanggal: 20 Mei 2025 21:59 wib.
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia telah menjadi topik hangat yang memicu berbagai kontroversi. Dengan tujuan untuk memperbarui dan menyesuaikan hukum yang berlaku dengan kebutuhan masyarakat modern, revisi ini malah dinilai oleh banyak pihak telah mengundang kerugian bagi kebebasan sipil. Istilah "dipenjara oleh naskah" mencerminkan ketakutan akan penegakan hukum yang lebih ketat yang dihasilkan oleh revisi ini. Banyak pihak, termasuk kelompok masyarakat sipil dan akademisi, mengkritik berbagai pasal dalam KUHP yang baru, yang dianggap mengancam hak asasi manusia.
Salah satu isu utama yang menjadi sorotan dalam revisi KUHP ini adalah berlakunya pasal-pasal yang dianggap terlalu luas dan ambigu. Misalnya, pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara.* Dengan rumusannya yang kabur, pasal ini membuka kemungkinan penafsiran yang dapat mengarah pada penangkapan sewenang-wenang terhadap individu yang hanya menyampaikan pendapatnya. Beberapa pengamat hukum berpendapat bahwa pasal ini bisa menjadi alat untuk menekan kebebasan berpendapat, yang merupakan salah satu pilar demokrasi.
Selain itu, kuota minimal penahanan untuk pelanggaran tertentu juga menjadi perhatian dalam revisi ini. Ketentuan yang lebih keras terkait sanksi pidana, terutama bagi pelanggaran yang dianggap merugikan kepentingan publik, membuat banyak orang merasa terancam. Misalnya, pelanggaran terkait undang-undang lingkungan hidup dapat dikenakan hukuman yang lebih berat, berpotensi membuat warga sipil yang berjuang untuk isu lingkungan menjadi target hukum. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa hukum pidana menjadi alat untuk menindas suara-suara yang bertentangan dengan kepentingan elit.
Revisi KUHP ini pun diwarnai dengan ketidakpuasan masyarakat terkait proses pembuatannya. Banyak kalangan menilai bahwa proses legislasi dilakukan secara tergdan tanpa melibatkan partisipasi publik yang cukup. Kritik mengemuka ketika sejumlah pasal dinyatakan tidak memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Perdebatan di antara anggota DPR mengenai substansi dan urgensi perubahan ini menjadi bukti bahwa revisi ini belum sepenuhnya menyerap aspirasi rakyat. Keberadaan berbagai organisasi masyarakat sipil yang menyuarakan ketidakpuasan serta kekhawatiran atas revisi ini menunjukkan adanya gelombang penolakan yang cukup kuat dari masyarakat.
Salah satu kontroversi lebih lanjut yang muncul dari revisi KUHP adalah pengaturan mengenai hubungan di luar nikah atau perzinaan. Dalam draf revisi, pasal tersebut memuat ancaman pidana bagi individu yang melakukan hubungan seks tanpa ikatan sah. Hal ini menjadi sorotan tajam, mengingat banyak pihak beranggapan bahwa pengaturan semacam ini merupakan bentuk campur tangan negara terhadap kehidupan pribadi warga. Pengaturan seperti ini dianggap dapat memicu kediktatoran moral, di mana negara berhak mengatur dan mengawasi kehidupan seksual serta hubungan pribadi warganya.
Bahkan sebelum revisi ini resmi diundangkan, protes di berbagai daerah telah dilakukan oleh masyarakat yang merasa hak-hak mereka terancam. Banyak suara menuntut agar pasal-pasal yang dianggap kontroversi dicabut atau direvisi. Pengulangan sejarah hukum yang kontroversial di Indonesia, seperti berlakunya undang-undang yang membatasi ruang gerak kebebasan sipil, harus menjadi perhatian serius. Terlebih lagi, undang-undang baru ini berpotensi mengakibatkan dampak jangka panjang terhadap penegakan hukum yang adil dan demokratis.
Dengan semua kontroversi yang mengelilinginya, revisi KUHP perlu dihadapi dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Ketika hukum seharusnya melindungi rakyat, revisi ini nampaknya justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tindakan pencegahan perlu diambil agar revisi yang ada tidak menghilangkan pondasi demokrasi serta hak asasi manusia di negeri ini. Masyarakat harus tetap bersuara, dan segala bentuk ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan tindakan pidana yang sewenang-wenang harus diperjuangkan untuk dihapuskan.