Sumber foto: Google

Politik Papan Catur: Strategi, Siasat, dan Dilema Demokrasi

Tanggal: 1 Jun 2025 10:08 wib.
Jakarta, Tampang.com – Di atas papan catur, raja adalah simbol tertinggi, namun ia tak bisa bergerak jauh. Ia lamban, rentan, dan seringkali hanya diselamatkan oleh pion, kuda, atau benteng. Di sinilah kita menyadari bahwa kuasa tertinggi tidak selalu berarti paling berdaya. Ia dikelilingi strategi, diatur oleh perhitungan. Ia bukan Tuhan, melainkan bagian dari permainan yang lebih besar—dan sering kali lebih gelap. Politik, seperti catur, adalah medan di mana kemenangan bukan soal keadilan, tapi soal langkah. Siapa cepat membaca lawan, siapa lihai menyiapkan jebakan, siapa berani mengorbankan bidak demi menyelamatkan pusat kekuasaan. Selebihnya adalah keheningan: seperti dalam catur, politik juga penuh diam. Namun diam itu bukan kosong, melainkan penuh siasat. Tidak semua langkah dalam politik berarti maju. Ada yang mundur untuk menjebak. Ada yang diam agar tak terbaca. Ada juga yang menyimpang ke kiri agar serangan dari kanan meleset. Seorang pion tak perlu tahu seluruh rencana, cukup melangkah sesuai garisnya. Para pemainlah yang menyusun segalanya—kadang jauh sebelum permainan dimulai.

Demokrasi hari ini tidak jarang menjelma seperti papan catur raksasa: rakyat jadi pion, partai jadi benteng, dan media—media bisa jadi menteri, bisa juga jadi pelayan. Kita tak selalu tahu siapa lawan, siapa kawan, sebab langkah tak selalu lurus. Dalam politik, musuh bisa sekutu besok pagi, dan sahabat bisa ditukar demi skenario sore nanti. Kita terjebak dalam permainan di mana siapa pun yang masuk ke medan itu harus siap dikorbankan atau mengorbankan. Bahkan idealisme, dalam papan catur politik, sering hanya jadi bidak pembuka.

Strategi dalam Permainan Politik Seperti halnya permainan catur, politik juga punya pembukaan. Di sinilah janji-janji disusun, baliho ditegakkan, pertemuan dilakukan diam-diam. Tak ada yang sungguh-sungguh jujur. Karena kunci permainan ada pada penyamaran: menyamar sebagai rakyat, sebagai pejuang, sebagai penyelamat.

Tengah permainan adalah saat sebenarnya pertarungan dimulai. Lawan mulai terlihat. Manuver kuda dimulai. Koalisi dibentuk. Lawan dijepit, sekutu dicurigai, dan kesetiaan diuji. Di tengah permainan ini pula, muncul siasat licik: politik uang, penggiringan opini, intimidasi birokrasi. Semua dibenarkan, asal langkah tetap hidup.

Akhir permainan selalu mengenaskan. Yang kalah tak selalu tersingkir, kadang jadi konsultan atau menteri. Yang menang belum tentu memimpin, kadang hanya wayang dari dalang yang tak pernah muncul. Karena seperti catur, politik Indonesia kadang tak pernah benar-benar berakhir—hanya berganti papan.

Dalam catur, mengorbankan pion demi menteri adalah lazim. Dalam politik, mengorbankan etika demi kekuasaan juga dianggap wajar. Namun, benarkah kita sedang bermain catur yang masuk akal, atau sudah berubah menjadi arena pertaruhan? Kita melihat politisi muda yang idealis dilempar keluar karena menolak ikut langkah kotor. Kita melihat kepala daerah dengan niat baik ditikam oleh partainya sendiri karena tak menyetor “setoran”. Kita melihat rakyat digiring memilih pion yang telah ditentukan, hanya untuk ditinggal begitu permainan selesai. Di titik ini, kita bertanya: siapa sebenarnya pemainnya? Siapa yang mengatur langkah-langkah ini? Apakah partai? Apakah oligarki? Apakah algoritma media sosial? Atau barangkali permainan ini memang sudah tak jelas siapa lawan siapa—karena semua berpura-pura bermain untuk rakyat, padahal sedang bertanding untuk diri sendiri.

Kemenangan dan Kesunyian Demokrasi Catur memiliki tujuan: skak mat. Politik juga memiliki tujuan, katanya: kesejahteraan rakyat. Namun, terlalu sering kita melihat politik tidak mengarah ke rakyat, hanya ke kursi. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat. Rakyat bukan tujuan, hanya peta jalan yang dilintasi dan dilupakan.

Di papan catur, kemenangan adalah soal teknik. Di politik, kemenangan adalah soal narasi. Siapa yang bisa menjual cerita lebih baik, lebih menyentuh, lebih dramatis, maka dialah yang menang. Tidak penting apakah cerita itu benar. Yang penting: publik percaya. Di sinilah demokrasi kita bergetar. Ia bukan lagi suara rakyat, tapi suara yang dibentuk oleh mesin. Dan langkah-langkah politik itu bukan untuk mendekat ke rakyat, tapi untuk menempatkan pion-pion di ruang-ruang strategis agar suara bisa dikunci, dan lawan bisa disingkirkan bahkan sebelum bertanding.

Ada kesunyian dalam politik yang sering tidak dibicarakan: sunyi para pemilih setelah pemilu usai. Ketika baliho diturunkan dan janji dilupakan. Ketika rakyat kembali ke pasar dan para pemenang kembali ke meja makan elite. Sunyi itu menyakitkan, karena ia adalah sunyi dari pengkhianatan. Dan seperti dalam catur, setelah permainan selesai, pion-pion dikembalikan ke dalam kotak. Tidak diberi penghargaan, tidak dibela, hanya dibungkam dalam rutinitas lima tahunan.

Kita hidup dalam demokrasi yang penuh drama, tapi miskin kejujuran. Di televisi kita lihat saling peluk, di lapangan kita lihat saling tikam. Papan catur ini sudah terlampau besar, hingga para pemainnya lupa: yang mereka pertaruhkan bukan sekadar jabatan, tapi nasib rakyat. Politik adalah permainan paling tua dalam sejarah manusia. Tapi bukan karena ia harus dimainkan seperti catur. Bukan karena ia harus menang dengan siasat. Politik seharusnya adalah seni merawat hidup bersama. Namun, ketika ia dibajak oleh ambisi, oleh strategi, oleh langkah-langkah penuh tipu, maka ia kehilangan maknanya. Mungkin sudah saatnya kita tanya: benarkah kita sedang bermain untuk menang, atau justru sedang dikalahkan oleh permainan itu sendiri? Karena dalam catur, semua berakhir di kotak yang sama. Dalam politik, terlalu banyak yang dilupakan, terlalu banyak yang dikorbankan—tanpa pernah kembali. Dan barangkali, langkah paling revolusioner bukanlah maju atau mundur, tapi berhenti ikut permainan yang lupa pada kemanusiaan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved