Sumber foto: pinterest

Politik Identitas: Menjual Agama demi Suara

Tanggal: 20 Mei 2025 22:00 wib.
Dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas telah menjadi salah satu isu yang paling mendominasi dalam dinamika politik di Indonesia, terutama menjelang pemilihan presiden (pilpres). Politik identitas mengacu pada strategi politik yang memanfaatkan identitas kelompok tertentu—baik itu berdasarkan ras, agama, etnis, atau budaya—untuk meraih dukungan suara. Salah satu panggung utama dalam penggunaan politik identitas adalah agama.

Di Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, agama memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Para calon pemimpin sering kali menyadari betapa pentingnya dukungan dari kelompok-kelompok berbasis agama demi meraih kursi kepemimpinan. Dalam konteks pilpres, agama bukan hanya menjadi bagian dari identitas pribadi, tetapi juga menjadi alat politik yang ampuh untuk menarik perhatian pemilih.

Berbagai survei menunjukkan bahwa pemilih di Indonesia cenderung mempertimbangkan faktor agama saat menentukan pilihan mereka di pilpres. Hal ini mendorong para kandidat untuk semakin mengedepankan simbol-simbol keagamaan serta berjanji untuk mengutamakan kepentingan umat. Misalnya, dengan merujuk pada ajaran agama dalam kampanye mereka, para calon presiden berharap dapat membangun koneksi emosional dengan pemilih, khususnya dari kalangan Muslim.

Namun, strategi politik identitas ini tidak tanpa risiko. Dalam banyak kasus, implikasi dari jual beli suara berdasarkan identitas religius dapat memperburuk perpecahan di masyarakat. Ketika para kandidat mulai menekankan keberpihakan kepada satu agama tertentu, hal ini bisa menciptakan ketegangan antara kelompok religius yang berbeda. Kebijakan publik yang lebih fokus pada satu kelompok agama berpotensi meminggirkan masyarakat yang memiliki keyakinan yang berbeda, menciptakan ketidakpuasan dan pengecualian.

Contoh nyata dari politik identitas yang dipengaruhi oleh agama dalam pilpres Indonesia dapat dilihat pada pemilu sebelumnya. Beberapa kandidat mengadopsi platform yang sangat religius dan mengandalkan dukungan dari ulama serta organisasi keagamaan. Mereka sering kali menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam materi kampanye, menjanjikan kebijakan yang akan menguntungkan masyarakat Muslim, dan menyebarkan narasi yang mungkin tidak menguntungkan bagi kelompok agama lainnya.

Selain itu, penggunaan agama dalam politik identitas juga merambah ke media sosial. Berita, meme, dan konten yang mengandung unsur agama sering kali disebarluaskan dengan cepat, membantu memperkuat pesan politik tertentu. Kontroversi-seperti kampanye negatif yang menyerang calon lain berdasarkan afiliasi agama mereka-pun sering kali muncul, menciptakan atmosfer permusuhan yang menyulitkan untuk menjalin dialog antar kelompok yang berbeda.

Saling serang menggunakan isu agama tidak hanya menciptakan polarisasi dalam pemilu, tetapi juga bisa berujung pada konflik yang lebih besar. Umat beragama yang seharusnya hidup berdampingan dapat terjebak dalam ketegangan yang disebabkan oleh penggunaan semboyan politik yang mendiskreditkan satu sama lain. Dalam konteks ini, politik identitas menjadi sebuah pedang bermata dua; sementara dapat digunakan untuk menggalang dukungan, dampak jangka panjangnya dapat mengancam harmoni sosial.

Karena alasan inilah, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis terhadap bagaimana politik identitas diimplementasikan, terutama yang melibatkan agama. Memahami peran dan pengaruh agama dalam pilpres adalah langkah awal menuju pemilihan yang lebih sehat dan inklusif. Menjadi pemilih yang cerdas dan kritis bukan hanya soal memilih calon berdasarkan janji-janji mereka, tetapi juga memahami arus dan dinamika yang ada di baliknya. 

Saat menjelang pilpres, tantangan untuk mendobrak batasan-batasan identitas dan mencaptkan nilai-nilai kemarian harus menjadi agenda utama bagi semua pihak.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved