Politik Identitas dan Agama: Siapa Memanfaatkan Siapa?
Tanggal: 21 Apr 2025 08:26 wib.
Politik identitas telah menjadi salah satu fenomena yang mendominasi arena politik global, tak terkecuali di Indonesia. Fenomena ini berhubungan erat dengan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya, salah satunya adalah agama. Agama sering kali dimanfaatkan sebagai alat dalam politik identitas, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan besar: siapa yang memanfaatkan siapa?
Politik identitas sendiri merujuk pada penggunaan identitas kelompok, seperti etnis, agama, atau ras, untuk mendapatkan dukungan politik. Dalam konteks Indonesia, di mana beragam agama dan kepercayaan hidup berdampingan, konflik berbasiskan identitas sering kali terwujud melalui manipulasi sentimen keagamaan. Politisi dan partai politik kerap kali menggunakan agama sebagai alat untuk meraih suara, terutama menjelang pemilu.
Manipulasi ini sering kali terlihat dalam kampanye-kampanye politik. Politisi yang menyelipkan unsur agama dalam iklan dan orasi mereka berusaha menarik simpati dari pemilih yang memiliki kesamaan kepercayaan. Misalnya, seorang calon legislatif bisa menggunakan simbol-simbol agama, atau mengklaim bahwa hanya dia yang bisa mewakili kepentingan umat agama tertentu. Hal ini tentu saja menciptakan polarisasi di tengah masyarakat, yang dapat memisahkan masyarakat berdasarkan identitas mereka.
Di sisi lain, agama juga sering kali dijadikan alat legitimasi bagi tindakan-tindakan tertentu dalam politik. Dengan mengklaim bahwa suatu kebijakan atau tindakan mendukung nilai-nilai agama, politisi berusaha mendapatkan dukungan dari mereka yang berpegang kuat pada keyakinan tersebut. Namun, di balik itu semua, pertanyaannya tetap sama: apakah pemimpin politik tersebut benar-benar peduli pada nilai-nilai agama, ataukah hanya memanfaatkan agama demi kepentingan politiknya?
Taktik manipulasi dalam politik identitas ini tidak hanya terjadi di kalangan para politisi. Kelompok-kelompok tertentu, termasuk organisasi masyarakat sipil, juga memanfaatkan agama dalam kerangka politik identitas untuk menarik perhatian publik dan mendapatkan pengaruh. Mereka membangun narasi yang memadai untuk memperkuat identitas kelompok mereka, sering kali dengan mengorbankan kelompok lain. Dengan cara ini, mereka mempertegas posisi mereka di masyarakat sekaligus menjadikan agama sebagai alat untuk memperjuangkan agenda mereka.
Terlepas dari siapa yang memanfaatkan siapa, dampak dari politik identitas dan manipulasi agama sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Diskursus publik sering kali terpecah antara "kita" dan "mereka", mendorong ketegangan sosial yang mengarah pada konflik. Dalam banyak kasus, isu-isu yang seharusnya bisa diselesaikan melalui dialog konstruktif justru menjadi semakin rumit karena sudah terjebak dalam narasi manipulatif ini.
Masyarakat yang terpengaruh manipulasi politik identitas sering kali tidak menyadari bahwa mereka diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Persaingan antar kelompok yang berlandaskan agama bisa mengakibatkan fragmentasi sosial, di mana toleransi dan saling menghormati menjadi terganggu. Ini adalah tantangan besar yang perlu dihadapi oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, akademisi, dan media.
Maka, dalam konteks politik identitas dan agama, sangat penting untuk mengedukasi masyarakat mengenai cara berpikir kritis. Kesadaran akan manipulasi yang ada dalam ranah politik bisa membantu individu untuk tidak terjebak dalam narasi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Praktik politik yang sehat akan menciptakan ruang bagi keberagaman dan mengurangi potensi konflik yang bisa merusak keharmonisan sosial.