Pilkada 2024, Batu Loncatan Dinasti Jokowi ke Pemilu 2029

Tanggal: 16 Apr 2024 11:20 wib.
Pada tahun 2024, politik Indonesia diwarnai oleh dinamika pilkada yang semakin memanas. Partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, dan PAN memiliki politisi-politisi handal dan kaderisasi yang kuat. Namun, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah penguasaan kekuasaan Jokowi atas partai-partai tersebut. Jika keinginan Jokowi sudah terpatri, maka partai-partai tersebut seakan-akan tidak memiliki pilihan lain selain menuruti kemauannya. Partai-partai tersebut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Ketua partai yang bermental tipis akan merasa takut dengan implikasi dari menolak keinginan Jokowi, sehingga tinggal menerima takdir semata. Bahkan, KPK pun diprediksi akan turun tangan jika partai-partai besar tersebut menentang Jokowi.

Situasi ini semakin diperkuat dengan kejadian pengkhianatan ke PDI Perjuangan, yang merupakan partai pengusung Jokowi sejak masa jabatan walikota, malahan Jokowi ingin menurunkan suara ke PDI Perjuangan, karena tidak mengikuti keinginan Jokowi.

Dalam pilkada 2024, Jokowi diyakini akan berupaya untuk memenangkan calon menantunya di Sumatera Utara dengan menjalankan tekanan terhadap DPP Golkar, meskipun Golkar di wilayah tersebut sudah memperoleh kesuksesan di bawah kepemimpinan Ijeck (Musa Rajekshah). Hal ini tentu menjadi momok bagi Airlangga Hartarto dan anggota DPP Golkar lainnya, yang terkendala dengan ketakutan serta tekanan demi memenuhi keinginan Jokowi.

Namun, perlu dicermati bahwa keinginan Jokowi bukan hanya terbatas pada pilkada, melainkan juga mempengaruhi situasi politik di tingkat nasional. Tujuan utama Jokowi terlihat tidak hanya berfokus pada pilkada, melainkan lebih jauh pada penguasaan kekuasaan bagi kepentingan keluarganya. Hal ini menjadi sorotan penting di tengah upaya Jokowi untuk memperluas pengaruhnya dalam struktur politik Indonesia. Pilkada 2024 adalah persiapan Pemilu 2029, dalam mensukseskan Gibran Rakabuming menjadi Presiden Indonesia 2029. Jika sebagian besar kepala daerah sudah loyal kepada Jokowi, maka dana bansos bisa digunakan kembali menjadi bansos politik untuk mendukung dinasti politiknya.

Salah satu contoh terkait kedekatan Jokowi dengan partai-partai besar adalah penolakan Golkar Sumut terhadap Bobby Nasution, yang ingin maju sebagai calon gubernur secara langsung daripada melalui kader Golkar. Dampak dari langkah ini dapat dilihat sebagai usaha untuk memberikan perlakuan khusus kepada dinasti Jokowi di partai lain, meskipun keterlibatannya masih terbilang baru. Sementara itu, PDI Perjuangan juga diprediksi tidak akan mencalonkan kembali keluarga Jokowi ke dalam pemerintahan di daerah manapun, karena dinilai telah mengkhianati partai tersebut. Pengkhianat tetaplah pengkhianat, dan akan dilakukan ke partai manapun jika keinginannya tidak diterima, PDI Perjuangan sudah mengingatkan Golkar untuk mengajukan kadernya sendiri daripada orang lain.

Golkar Sumatera Utara lebih memilih untuk mengutamakan kader-kadernya sendiri, seperti mantan wakil gubernur Sumut, Ijeck atau Musa Rajekshah, ketimbang mengusung kader dari partai lain, terutama dari PDI Perjuangan. Bobby Nasution yang lebih dikenal sebagai kader PDI Perjuangan dan hanya memiliki basis kuat di kota Medan, tidak memiliki tempat yang cukup luas di kalangan kader Golkar. Hal ini menunjukkan bahwa partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, dan PAN harus berada dalam dilema antara loyalitas terhadap Jokowi dan mempertahankan kekuatan kaderisasi serta basis kekuatan politiknya sendiri.



Beberapa kesuksesan Ijeck (Musa Rajekshah), Ketua DPD Golkar Sumut berhasil menorehkan prestasi yang lebih baik. Terbukti jumlah perolehan kursi Golkar Sumut di DPR RI pada Pemilu 2024 lalu naik dari 4 kursi menjadi 8 kursi. Peningkatan signifikan juga diperoleh Golkar di DPRD Sumut, dari 15 kursi pada pemilu 2019 menjadi 22 kursi pada Pemilu 2024 atau 22 persen. Dengan perolehan kursi sebanyak itu, Golkar Sumut merupakan partai yang bisa mengusung calon gubernur tanpa berkoalisi dengan partai lain.

Dengan demikian, dinamika politik Indonesia di masa depan bukan hanya melibatkan persaingan antar partai politik, tetapi juga mempertimbangkan penguasaan kekuasaan dan intervensi dari kepentingan pribadi politisi besar seperti halnya Jokowi. Hal ini menunjukkan bahwa partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, dan PAN harus mampu mengelola konflik internal dan eksternal dengan cermat, untuk menjaga kestabilan dan kepercayaan publik terhadap demokrasi di Indonesia.

Dengan berbagai permasalahan yang dihadapi partai-partai besar tersebut, diharapkan kedepannya mereka mampu mengambil langkah-langkah yang bijaksana dalam mempertahankan kekuatan politiknya tanpa harus sepenuhnya menyerah pada kemauan personal dari penguasa. Fokus pada pembangunan masyarakat dan penguatan demokrasi seharusnya menjadi prioritas utama bagi partai-partai besar tersebut, serta upaya untuk memperkuat struktur partai dan kaderisasi secara menyeluruh demi mencapai tujuan politik yang lebih bermartabat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved