Pilgub DKI 2017: Mengapa Ahok Sampai Kalah Telak?
Tanggal: 21 Apr 2017 19:36 wib.
Oleh : Hersubeno Arief
Mengapa Ahok kalah telak? Pertanyaan ini banyak mengemuka setelah semua lembaga survei mempublikasikan hasil quick count-nya. Margin kekalahan Ahok sangat lebar. Ada yang menyebut 41, 94-58,06 persen, ada pula yang menyebut 42-58 persen. Rentangnya kira-kira 15-17 persen. Dua digit!!! Unbelievable.
Bahwa Ahok akan kalah, sudah bisa diprediksi. Sebelum putaran pertama sudah diperkirakan, bila harus masuk putaran kedua, Ahok akan kalah lawan siapapun. Apakah lawan Agus-Silvy ataupun lawan Anies-Sandi. Tapi selisih 15- 17 persen adalah angka yang fantastis.
Bagi penggemar bola, kekalahan menyakitkan Ahok-Djarot dari Anies-Sandi mengingatkan pada kekalahan Paris Saint Germain (PSG) dari Barcelona dalam Liga Champion bulan lalu. Menang di leg pertama 4-0, PSG dihajar balik 6-1, ketika bermain di kandang Barcelona pada leg kedua.
Bila kita melihat kecurangan dan money politics yang ugal-ugalan, brutal, tidak beradab, tidak tahu malu, atau apapun yang bisa Anda katakan untuk menggambarkan situasi pilkada kemarin, diperkirakan Ahok-Djarot bisa membalikkan situasi. Kalau tidak menang, setidaknya Ahok-Djarot hanya akan kalah tipis.
Angka setinggi itu membuat banyak kalangan yang bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang terjadi? Dosa dan kesalahan apa yang bisa membuat rakyat Jakarta menghukum Ahok-Djarot dan para pendukungnya dengan hukuman yang sangat berat dan tak terbayangkan itu?
Berdasarkan sejumlah survei, setidaknya ada tiga hal rentan selama pelaksanaan hari tenang yang bisa bisa mengganggu elektabilitas seorang kandidat. Pertama, isu negatif. Kedua, money politics. Ketiga, kecurangan.
Isu negatif menempati urutan pertama yang paling berpengaruh. Menyadari akan kalah, Ahok-Djarot atau lebih tepatnya para pendukungnya memainkan ketiga kartu As tersebut secara bersamaan.
Isu Negatif. Setidaknya ada dua isu besar yang mereka mainkan. Pertama, isu bahwa kelompok Syiah mendukung penuh Anies-Sandi. Kedua, isu pemberlakuan syariat Islam bila Anies-Sandi menang.
Isu dukungan Syiah dimainkan karena tim kampanye Ahok-Djarot paham betul bahwa jumlah terbesar pendukung Anies-Sandi berasal dari kalangan Islam Suni yang sangat anti Syiah. Jadi targetnya mengadu domba dan memecah belah.
Untuk isu pemberlakuan syariat Islam, pendukung Ahok-Djarot membuat selebaran dengan memanfaatkan buletin palsu dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Disebutkan bahwa HTI mendukung penuh Anies-Sandi karena jika menang, akan memberlakukan syariat Islam di Jakarta.
Kedua isu itu bisa segera dimentahkan. Isu dukungan Syiah atau bahkan Anies adalah penganut Syiah juga sudah lama bisa dimentahkan. Modus kedua juga mental karena HTI segera membantah dan menyebutkan buletin mereka belum dicetak dan isu yang diangkat juga bukan Syariat Islam.
Money Politics. Untuk kartu As kedua ini tim pendukung Ahok-Djarot melakukan gerakan total football. Mereka tidak hanya bagi-bagi uang dan sembako, tapi bahkan bagi-bagi sapi, seperti yang terjadi di Pulau Seribu.
Mereka agaknya lupa bahwa Hari Raya Idul Kurban masih jauh. Peristiwa ini sekaligus akan melahirkan istilah baru dalam kamus politik, yakni cow politics, politik sapi untuk melengkapi istilah money politics.
Kecurangan. Permainan kartu as kedua ini juga tidak kalah serunya berupa penambahan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan diperbolehkannya penggunaan Suket (Surat keterangan) dalam pencoblosan. Yang lebih tragis mereka bahkan memanfaatkan orang-orang stress yang sedang berada di panti rehabilitasi Bina Laras untuk menjadi pemilih. Pada pilkada putaran pertama lalu mereka tidak masuk DPT. Peristiwa itu terjadi di TPS 008 Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat yang menjadi kantong suara Ahok-Djarot.
Ketiga kartu As tersebut ternyata gagal membalikkan situasi, bahkan dua diantaranya malah berbalik menyerang Ahok-Djarot menjadi isu negatif. Ingat, isu negatif menempati peringkat pertama yang sangat rentan mempengaruhi suara pemilih. Apa saja isu negatif yang melanda dan meluluhlantakkan Ahok-Djarot?
Pertama, iklan kampanye #GanyangCina.
Kedua, Steven Effect atau boleh juga disebut Tuan Guru Bajang Effect.
Ketiga, money politics dan cow politics.
Ketiga isu negatif itu tampaknya sedikit luput dari pengamatan lembaga survei. Bisa dipahami karena ketiga peristiwa terjadi di hari-hari akhir kampanye dan hari tenang putaran kedua.
Iklan kampanye #GanyangCina membuat umat Islam yang sebagian sudah berhasil diyakinkan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama, kembali menjadi sangat marah. Penggambaran bahwa umat Islam adalah perusuh dan tukang ganyang cina, sementara etnis cina adalah pahlawan menjadi pedang bermata dua yang balik memburu Ahok.
Di satu sisi membuat umat Islam sangat marah dan bila dikapitalisasi efeknya bisa setara dengan penistaan surat Al Maidah 51. Sebaliknya penggambaran orang Islam tukang ganyang cina juga membuat komunitas etnis cina menjadi ketakutan karena diingatkan akan memori kerusuhan Mei 1998. Hal itu setidaknya terlihat di TPS 47 Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat yang menjadi TPS tempat kelas menengah etnis cina memilih.
Pada putaran pertama Ahok-Djarot menang di TPS ini. Namun pada putaran kedua ada 126 kertas suara yang tidak digunakan. Diduga para pemiliknya memilih pergi keluar kota atau keluar negeri. Akibatnya kemenangan Ahok di TPS ini menjadi menurun.
Steven Effect/Tuan Guru Bajang Effect. Kasus penghinaan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi menjadi isu negatif yang daya rusaknya juga sangat kuat. Agar mudah diingat dan bisa menjadi istilah yang go international saya usulkan kita menyebutnya Steven effect saja. Namun, Anda boleh juga tetap menyebutnya sebagai Tuan Guru Bajang effect untuk menghormati tokoh muda yang juga ahli tafsir Al-Quran itu.
Penyebutan Steven effect ini setidaknya akan mengingatkan kita pada istilah dalam kamus politik yang sangat terkenal Bradley effect. Pada tahun 1982 Walikota Los Angeles Tom Bradley yang berkulit hitam maju untuk periode kedua. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa Bradley akan terpilih kembali dengan dukungan yang sangat kuat.
Ketika pemilihan berlangsung ternyata Bradley kalah. Usut punya usut ternyata banyak pemilih kulit putih yang menyatakan mendukung Bradley karena takut dituduh rasis. Sebaliknya kasus Steven atau nama lengkapnya Steven Hadisurya Susilo adalah seorang anak muda etnis cina yang bersikap sangat kasar dan rasis. Dia memaki Tuan Guru Bajang dengan kata-kata rasis dan sangat kasar. “ dasar Indon, pribumi, Tiko.” Hanya karena salah paham dalam antrian di Bandara Changi, Singapura. Kata Tiko dalam dialek Hokkian sangat kasar bermakna Ti-anjing, haw-babi.
Bisa dibayangkan betapa marahnya masyarakat Indonesia. Bukan hanya yang beragama Islam, tapi mayoritas pribumi Indonesia, tanpa memandang apa agamanya. Steven effect sama seperti iklan #GanyangCina menjadi pedang bermata dua dengan efek yang lebih besar. Peristiwa itu memunculkan kemarahan kolektif melayu/ pribumi dan membuat komunitas etnis cina ketakutan. Steven dan keluarga sudah jauh-jauh hari kabur. Ketika rumahnya didatangi oleh warga NTB di Jakarta, rumahnya di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat itu sudah kosong.
Money politics, cow politics dan kecurangan. Praktik ini juga memberi dampak kekalahan Ahok-Djarot yang sangat besar. Pemberitaan maupun penyebaran informasi yang massif melalui media sosial tentang kecurangan yang ugal-ugalan membuat kelas menengah, atau mereka yang melek informasi dan medsos di Jakarta menjadi muak. Mereka yang masih ragu menentukan pilihan dengan segera meninggalkan Ahok-Djarot.
Mengapa tim pendukung Ahok-Djarot bisa melakukan langkah konyol seperti itu. Setidaknya ada dua penjelasan.
Pertama, mereka sangat tertekan, gugup membaca hasil survei dari berbagai lembaga yang menyatakan Ahok-Djarot akan kalah, sehingga bertindak kalap dan tanpa perhitungan.
Kedua, pelaku money politics banyak diantaranya bukan warga Jakarta. Mereka tidak paham medan dan karakteristik warga Jakarta. Kasus seorang anggota DPRD Sukoharjo, Jawa Tengah dari PDIP yang tertangkap di Palmerah, Jakarta Barat karena menimbun sembako tiga truk di sebuah rumah kontrakan, adalah salahsatu contoh.
Selama putaran kedua ini banyak bupati, walikota dan anggota DPRD di daerah yang berada di Jakarta dan terjun langsung dalam palagan pilkada DKI. Para anggota DPRD ini menggunakan berbagai modus untuk datang ke Jakarta. Pada tanggal 12-14 April ada serombongan anggota DPRD yang berangkat ke Jakarta dengan dalih ada kegiatan bintek alias bimbingan teknis di DPP PDIP. Pada tanggal 16-19 April mereka membuat kegiatan lagi berupa konsultasi ke Depdagri.
Para anggota DPRD ini tidak hanya berasal dari Jawa, tapi ada yang dari Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Dana perjalanan dinas (SPD) ditambah uang pribadi inilah yang ditengarai digunakan membeli sembako untuk praktik money politics. Mereka tidak ada pilihan lain harus berangkat ke Jakarta, sebab ancamannya bila menolak akan di PAW alias diganti.
Karena tidak paham dengan kondisi Jakarta, mereka main hajar. Seperti tokoh Mick dalam Film Crocodile Dundee (1986) orang pedalaman Australia yang diajak main ke kota New York, AS. Di daerah asal mereka, terutama di kampung-kampung, banyak warga yang tidak berani melaporkan atau malah dengan senang hati menerima praktik kecurangan.
Di Jakarta warganya sangat kritis dan melek media sosial. Banyak warga DKI yang menolak pembagian sembako atau kalau menerima pun lalu sembako ini digunakan sebagai serangan balik menelanjangi kubu Ahok dengan mempostingnya di medsos. Akibatnya kecurangan mereka tersebar dengan massif dan berbalik menjadi malapetaka.
Jadilah seperti yang kita saksikan bersama ini: Ahok-Djarot kalah telak. Kendati begitu sikap Ahok patut dipuji. Secara gentle, santai, rileks dan penuh senyum Ahok mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi.