Pilgub DKI 2017: Apakah Jakarta Dibiarkan Di-Tripoli-Kan
Tanggal: 18 Apr 2017 10:15 wib.
Di bulan April 2017 ini ada dua momentum yang berpotensi menimbulkan bentrok massal di Jakarta. Pertama putaran kedua Pilgub DKI Jakarta yang dilangsungkan pada 19 April 2017 dan sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang rencananya akan digelar pada 20 April 2017 atau sehari setelah hari pencoblosan.
Potensi terjadinya bontrok fisik secara massal ini dipicu oleh mobilisasi massa dari sejumlah daerah ke Jakarta oleh dua kubu yang tengah saling berhadapan. Dalam situasi seperti ini, di mana dua kubu saling dihadapkan, provokasi sekecil apapun dapat memancing reaksi dari kedua kubu. Dengan demikian, siapa pun pemenang Pilgub DKI 2017 atau bebas tidaknya Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama, potensi rusuh tetap harus menjadi perhatian aparat keamanan.
Menariknya, dua kubu yang saat ini tengah berhadapan telah mendapatkan latihan kemiliteran, baik dari TNI maupun dari Polri. Dengan demikian, kedua kubu tersebut telah siap secara fisik dan juga mental. Tentu saja, bentrokan antara kedua kubu tersebut dapat menimbulkan konflik horisontal yang lebih merusak ketimbang konflik horisontal yang pernah terjadi sebelumnya.
Namun demikian ada satu kejanggalan yang sangat mencolok terkait dengan meningkatnya kerawanan sosial di Jakarta. Kejanggalan tersebut berupa status Siaga 1 yang belum juga diumumkan oleh Kapolri, setidaknya diberitakan oleh media.
Sebelum berlangsungnya Aksi 411 yang dilaksanakan pada 4 November 2016, kepolisian di sejumlah daerah mengumumkan Status Siaga 1. Misalnya, Polda Metro Jaya, Polda Jabar, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda Sumatera Selatan, dan sejumlah polda lainnya. Dan, sebagaimana yang diketahui, setelah Aksi 411 berlangsung terjadi kerusuhan yang diikuti oleh upaya penjarahan di sejumlah toko yang berlokasi di Penjaringan, Jakarta.
Artinya, keputusan Polri untuk menerapkan Status Siaga 1 saat Aksi 411 sangat tepat. Keputusan ini pastinya bersumber dari informasi intelijen yang dikumpulkan dari sejumlah daerah.
Sebaliknya, pada saat Aksi 212 yang berlangsung pada 2 Desember 2016, kepolisian tidak menerapkan Status Siaga 1. Setidaknya, tidak ada satu pun media yang memberitakannya. Padahal, jumlah massa pada Aksi 212 berlipat kali dari jumlah massa pada Aksi 411.
Tidak diterapkannya Status Siaga 1 pada saat Aksi 212 pastinya juga berdasarkan informasi intelijen. Dan, faktanya, saat Aksi 212 tidak terjadi keributan. Padahal, sebelum aksi yang diikuti jutaan pengunjuk rasa tersebut situasi sempat genting dengan ditangkapnya sejumlah tersangka pelaku makar.
Penerapan Status Siaga 1 pada saat Aksi 411 dan tidak diterapkannya Status Siaga 1 pada Aksi 212 membuktikan keakuratan analisa intelijen Polri. Dengan mengacu pada dua peristiwa tersebut, maka tidak diterapkannya Status Siaga 1 jelang hari pencoblosan Pilkada DKI 2017 dan sidang lanjutan Ahok dapat disimpulkan kalau intelijen tidak mencium adanya bahaya yang mengancam Jakarta.
Meski Status Siaga 1 tidak diberlakukan, bukan berarti Polri tidak meningkatkan kewaspadaannya. Sebagaimana yan dibertakan Polri telah menggerakkan anggotanya dari sejumlah Polda untuk turut mengamankan ibu kota. Tidak diberlakukannya Status Siaga 1 oleh Polri jelang hari pencoblosan Pilgub DKI 2017 ini sekaligus menguji ketajaman penciuman intelijen Polri.
Namun demikian, tidak diberlakukannya Status Siaga 1 dapat juga dianggap sebagai sebuah pembiaran. Kecurigaan adanya pembiaran ini timbul jika mengacu pada sejumlah respon Polri dalam menyikapi situasi yang saat ini tengah berkembang. Misalnya, dibiarkannya massa GMBI mendatangi Mapolda Jabar dan berhadapan langsung dengan massa FPI pada Januari 2017 lalu. Kedua, sikap Polri yang dinilai memihak salah satu paslon Gubernur DKI. Sikap Polri yang dinilai memihak salah satu paslon ini pun sebenarnya bisa disebut sebagai bentuk provokasi.
Jika memang terjadi pembiaran, maka potensi rusuh di jakarta dalam dua hari kedepan sangat besar. Rakyat Indonesia pastinya tidak menginginkan terjadinya konflik horisontal, apalagi jika konflik itu menyeret unsur SARA. Sebab, sebagaimana pengalaman yang terjadi sebelumnya, konflik berbuatan SARA dapat diredam setelah hitungan bulan, bahkan tahun.
Tetapi, keinginan rakyat Indonesia berbeda dengan nalar politik. Apalagi jika potensi konflik di Jakarta tersebut diperlebar menjadi konflik global yang tengah terjadi, khususnya di Laut Tiongkok Selatan. Di laut dengan multi konflik yang menyeret sejumlah negara tersebut, militer Amerika kerap kali melancarkan aksi provokasinya terhadap China. Tercatat beberapa kali pesawat militer Amerika memasuki wilayah laut yang oleh China diklaim menjadi miliknya.
Persoalan Laut Tiongkok Selatan pastinya menyeret sejumlah negara yang berbatasan dengannya, termasuk Indonesia. Indonesia dengan luas wilayahnya pastinya sangat strategis di mata China dan Amerika. Tidak mengherankan jika dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua, sejumlah wilayah Indonesia dijadikan base pertahanan oleh negara-negara yang terlibat dalam perang dunia.
Karenany, bicara soal Pilgub DKI dan politik di Indonesia tidak mungkin dipisahkan dengan geopolitik global. Jika kedua kubu massa yang menumpuk di Jakarta pada minggu ini mudah diprovokasi, maka ibu kota terancam menjadi Tripoli kedua.
Dalam tragedi Tripoli, kerusuhan terjadi di ibu kota Libya itu setalah milisi pemberontak melancarkan serangannya kepada pasukan pemerintah. Dalam pergolakan yang melebar ke sejumlah kota di Libya, kelompok teroris Al Qaeda turun tangan dengan membantu pasukan pemberontak. Selanjutnya, dengan alasan memerangi terorisme, Amerika menerjunkan pasukannya ke Libya.
Peristiwa yang di Libya ini mirip dengan yang terjadi di Suriah. Dan, sebagaimana yang diberitakan oleh LA Times, senjata yang diperoleh FSA (Free Syrian Army) dipasok oleh CIA. Kemudian oleh CIA, sentata tersebut dteruskan kepada ISIS.
Tidak mengherankan jika ISIS justru semakin kuat sekalipun dihajar oleh Amerika dan sekutunya selama setahun lebih. Demikian juga dengan Khadafi yang jutru rontok setelah pasukan Amerika datang ke negaranya dengan alasan memerangi Al Qaeda.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Jakarta? Apakah ada kemungkinan Jakarta tengah terancam akan di-Tripoli-kan?