Perang Saudara Suriah: Kekuasaan di Atas Mayat Anak-anak
Tanggal: 6 Mei 2025 14:48 wib.
Tampang.com | Perang saudara Suriah yang dimulai pada tahun 2011 telah menjadi salah satu konflik paling tragis di era modern. Dalam delapan tahun terakhir, perang ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, dengan dampak paling mengerikan dirasakan oleh anak-anak. Di tengah gejolak dan kekacauan yang ditimbulkan oleh perang sipil ini, kekuasaan semakin dipegang oleh rezim Bashar al-Assad, meskipun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal—nyawa tak terhitung banyaknya, termasuk anak-anak yang tak berdosa.
Konflik di Suriah dimulai dengan tuntutan rakyat untuk reformasi politik dan penghilangan pemerintahan otoriter Assad. Tuntutan tersebut berkembang menjadi aksi protes besar di berbagai wilayah, namun segera ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintah. Respon militer yang brutal ini semakin memicu perlawanan kelompok-kelompok oposisi. Situasi ini mengarah pada pembentukan berbagai angkatan bersenjata yang berjuang untuk menggulingkan Assad, menciptakan perang sipil yang berkepanjangan.
Di balik kegentingan situasi ini, anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Menurut laporan dari berbagai lembaga internasional, sekitar 5,6 juta anak-anak di Suriah memerlukan bantuan kemanusiaan. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka, kehilangan orangtua, atau bahkan menjadi korban langsung dari serangan. Bombardir yang dilakukan oleh rezim Assad, sering kali menargetkan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit, meningkatkan jumlah korban anak-anak. Tragedi ini menambah luka mendalam bagi masyarakat Suriah, yang kini harus menghadapi trauma yang berkepanjangan.
Rezim Assad, dengan dukungan dari Rusia dan Iran, tidak hanya mempertahankan kekuasaan tetapi juga melakukan berbagai strategi untuk mendominasi wilayah-wilayah penting. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, tak jarang Maduro menggunakan kekerasan yang sangat mendalam, meninggalkan jejak darah di mana-mana. Setiap kemajuan militer yang diperoleh Assad sering kali datang dengan pembunuhan massal dan penggunaan senjata kimia, yang semuanya ditujukan untuk menekan setiap perlawanan dan memastikan kelangsungan kekuasaannya.
Sementara itu, di sisi oposisi, munculnya berbagai faksi yang berbeda-beda membuat situasi semakin kompleks. Tidak hanya mereka yang berjuang melawan rezim, tetapi juga harus berhadapan dengan gangguan dari kelompok ekstremis yang memanfaatkan kekacauan ini. Hal ini membuat perlindungan terhadap anak-anak semakin sulit, karena banyak dari mereka terpaksa hidup di tengah perang, tanpa akses yang memadai terhadap pendidikan, makanan, dan perawatan kesehatan.
Kekuatan global juga turut berperan dalam situasi ini. Meskipun ada berbagai keputusan dan resolusi dari masyarakat internasional untuk menghentikan kekerasan, tindakan nyata sering kali lambat dan tidak memadai. Banyak negara lebih memilih untuk menjaga kepentingan geopolitik mereka di kawasan, daripada benar-benar memberikan perhatian utama pada penderitaan rakyat Suriah, terutama anak-anak yang menjadi korban utama dalam konflik ini.
Dengan segala tragedi yang sedang terjadi, perang sipil Suriah menjadi refleksi kelam tentang bagaimana kekuasaan dapat dipertahankan di atas mayat anak-anak. Dampak dari konflik ini tidak hanya akan terasa dalam dekade mendatang tetapi juga akan membentuk masa depan Suriah dan generasi yang akan datang. Berlarut-larutnya perang ini mengingatkan kita akan pentingnya mengedepankan kemanusiaan di atas ambisi kekuasaan, terutama saat anak-anak adalah yang paling terpukul dalam perjuangan tersebut.