Pencapresan Prabowo Bisa Terbentur Manuver Presidential Threshold Jokowi

Tanggal: 15 Apr 2017 22:03 wib.
Prabowo Subianto sudah memastikan akan menggelar pertemuan dengan SBY. Hanya saja, menyangkut waktu dan tempat pertemuan tersebut, Prabowo belum bisa memastikannya.

"Ya, kami komunikasi bagus. Pasti ada pertemuan. Rencana pertemuan belum tahu," kata Prabowo di Gedung DPR/MPR, Kamis (2/3/2017) (Sumber: Kompas.com)

Ketua Umum Partai Gerindra yang yang sempat berbincang dengan SBY sebelum kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud tiba Kompleks Parlemen, Senayan itu meminta publik untuk bersabar.

Banyak pengamat yang menduga kalau pertemuan mantan Komandan Kopassus dengan Ketua Umum Partai Demokrat itu terkait kontestasi dalam Putaran Kedua Pilgub DKI 2017. Padahal, ada sejumlah isu strategis lainnya yang perlu dibahas kedua ketua umum parpol tersebut. Salah satunya adalah RUU Pemilu 2019.

Pada 2014 MK mengeluarkan keputusan tentang waktu pelaksanaan pemilu. Menurut MK, berdasarkan UUD, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus digelar secara serentak. Tetapi, karena soal keterbatasan waktu, maka keputusan MK itu baru bisa dilaksanakan mulai Pemilu 2019. Artinya, mulai 2019, Pileg dan Pilpres harus dilangsungkan bebarengan pada hari yang sama.

Karena digelar bebarengan, logikanya, secara otomatis Presidential Threshold (PT) tidak diberlakukan lagi. Gampangnya, bagaimana mungkin presidential threshold bisa dihitung kalau Pemilu Legislatif saja belum dilaksanakan. 

Tetapi, pemerintah Jokowi tetap mengusulkan berlakunya PT pada RUU Pemilu yang diajukannya ke DPR RI. Usulan pemerintah Jokowi ini bisa dibilang sebagai manuver ngawur,  sebab  angka-angka yang digunakan untuk memeuhi persyaratan presidential threshold didapat dari hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Jadi, PT untuk Pilpres 2019 menggunakan perolehan suara pada Pileg 2014.

Dengan demikian, Paslon Capres-cawapres  2019 harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh suara 25% pada Pileg 2019 atau memiliki 20% kursi DPR RI.

Di Mana Ngawurnya Manuver Ugal-ugalan Pemerintah Jokowi Ini?

Pada saat pemilu belum digelar serentak saja, PT sudah banyak merugikan demikrasi. Kerusakan yang paling mencolok gegara persyaratan ini adalah munculnya politik dagang sapi antara petinggi parpol.

Ada dagang sapi sistem prabayar seperti di masa SBY. Di mana jatah menteri sudah dibagikan kesetiap parpolnya sebelum masa Pilpres 2009. Ada juga sistem pascabayar seperti yang dipraktekkan oleh Jokowi. Di era Jokowi, jatah menteri baru dibagikan setelah memenangi Pilpres 2014.

Soal dampak PT sudah diposting di sini “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar” yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013.

Dan ini yang paling ngawur dalam manuver Jokowi lewat RUU Pemilu yang diajukannya. Pertama, kalau persyaratan pencalonan capres-cawapres menggunakan hasil pileg pada pemilu sebelumnya, maka kalau semua parpol membubarkan diri akibatnya tidak ada paslon yang diajukan dalam Pilpres. Walaupun kemungkinannya kecil, tetapi kemungkinan bubarnya seluruh -parpol tetap ada.

Kedua, adanya konflik kepentingan bagi caleg Partai A ketika harus mengampanyekan capres yang merupakan kader Partai B. Contohnya, bagaimana mungkin Nuruf Arifin yang maju sebagai caleg dari Golkar mengampanyekan dirinya sekaligus memenangkan pencapresan Jokowi yang merupakan kader PDIP.

Faktanya, pada Pileg 2014 yang lalu, Metro TV berulang kali menayangkan pembacaan puisi “Boleh Bohong Asal Santun” yang dibacakan Prabowo. Tentu saja tayangan yang berulang-ulang itu dimaksudkan untuk menyerang PDIP .

PDIP Paling Untung, Demokrat Paling Buntung

Sebenarnya, aturan pada RUU Pemilu tersebut tidak satu pun parpol yang dapat mengajukan paslon jagoannya, termasuk PDIP sendiri. Karena PDIP dalam Pileg 2014 lalu partai banteng moncong putih ini hanya mengantongi 18.95% suara dan 109 kursi DPR RI. Artinya, PDIP pun harus berkoalisi dengan parpol lain untuk dapat memenuhi persyaratan PT. (Hasil Pileg 2014 bisa dilihat dari Wikipedia.org)

Namun demikian, langkah PDIP untuk mengajukan paslon jagoannya lebih mudah ketimbang Gerindra, Demokrat, dan parpol-parpol lainnya. Bukan saja karena PDI-P hanya membutuhkan tambahan satu parpol lagi untuk memenuhi ambang batas yang akan ditentukan, tetapi juga karena adanya persoalan pribadi di antara para petinggi parpol 

Sebut saja Hanura. Hanura yang diketuai oleh Wiranto ini sangat tidak mungkin mendukung pencapresan Prabowo. Dan, sangat kecil kemungkinannya mendukung jagoan yang diajukan Demokrat. Hal ini terlihat pada keputusan Wiranto yang menempatkan Hanura berada di luar kekuasaan pada periode kedua pemerintahan SBY. Dari latar belakang tersebut sudah bisa diperkirakan kalau Hanura tetap bersama PDIP pada Pilpres 2019 nanti. Maka, hanya dengan didukung oleh Hanura yang memiliki 16 kursi DPR RI, PDIP dapat kembali mengajukan Jokowi sebagai capresnya.

Di antara 6 parpol saat ini sekelompok dengan PDIP, mungkin hanya Hanura dan Nasdem saja yang sudah dipastikan loyal. Sementara arah dukungan Golkar, PKB, PAN, dan PPP masih sulit diperkirakan. Tetapi, kemana pun arah dukungan keempat parpol tersebut, bagi PDIP tidak akan menjadi masalah.

Sementara, Gerindra akan kembali mengajukan Prabowo sebagai capres. Jika PKS bergabung, kedua parpol ini memiliki 20,01 % jumlah kursi di parlemen. Dengan demikian, keduanya dapat mengajukan paslon capres-cawapres pada Pilpres 2019 nanti. Masalahnya, arah dukungan PKS pun sama seperti Golkar Cs yang sulit diduga. Jadi, bisa saja PKS akan mendukung capres di luar Prabowo.

Tetapi, nasib pencapresan Prabowo tidak lebih celaka ketimbang SBY.  Pada Pileg 2014, Demokrat hanya meraup 10.9 % suara dan menduduki 61 kursi Senayan. Jadi, dengan mengacu pada cara hitungan apapun, Partai Demokrat  tidak dapat mencukupi persyaratan presidential threshold untuk Pilpres 2019. Dan, lebih parahnya lagi, tidak ada satu parpol yang memiliki keloyalan kepada SBY. Selain, tentu saja, Demokrat sendiri.

Sekalipun PAN yang memiliki kedekatan kekeluargaan dengan SBY bergabung, Demokrat tetap tidak dapat mengajukan capres-cawapresnya, Sebab baik dari jumlah kursi maupun jumlah suara yang didapat Demokrat dan PAN masih di bawah ambang batas yang dipersyaratkan dalam RUU Pemilu.

SBY dan Lingkiran Setan yang Dihadapinya

Kalau peta politik mengacu pada Pilgub DKI 2017, maka Pilpres 2019 bisa memunculkan 3 paslon. PDIP CS dengan Jokowi sebagai jagoannya. Gerindra-PKS dengan Prabowo sebagai capresnya. Dan, paslon aduan Demokrat yang mendapat dukungan dari PAN, PPP, dan PKB.

Sayangnya, SBY belum memiliki calon kuat untuk diduelkan dengan Jokowi dan Prabowo. Sialnya lagi, SBY sudah tidak mungkin lagi menggelar ajang konvensi pencarian capres seperti pada saat Pilpres 2014. Ditambah lagi, SBY pun tidak mungkin nekad mencalonkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono seperti saat Pilgub DKI 2017.  

Di sinilah SBY menghadapi lingkaran setannya. SBY tidak mungkin mencari sosok yang dapat dijagokannya, tanpa terlebih dulu memastikan dukungan dari parpol-parpol painnya. Tetapi, parpol-parpol pun tidak akan memberikan dukungannya, kalau SBY tidak menawarkan calon yang layak bertarung dengan Jokowi dan Prabowo.

Kalau SBY tidak sanggup memecah lingkaran setan yang dihadapinya, pilihannya tinggal netral atau mendukung pencapresan Prabowo. Pilihan kedualah yang mungkin akan dibicarakan oleh Prabowo jika bertemu dengan SBY.

Jika SBY kemudian memberikan dukungannya kepada Prabowo, secara otomatis nilai tawar PKS kepada Prabowo pun akan menurun. Karena dengan dukungan SBY, Prabowo tidak perlu lagi menggantungkan nasib pencalonannya kepada PKS.

Dalam soal RUU Pemilu 2019, jika pasal tentang PT berhasil dibatalkan, maka baik Prabowo maupun SBY tidak perlu lagi menggantungkan nasibnya pada sokongan parpol-parpol lainnya. Prabowo dapat mencalonkan dirinya tanpa dukungan PKS. Demikian juga dengan SBY yang dapat mencalonkan jagoannya tanpa menunggu dukungan dari parpol-parpol lainnya.

Sayangnya, sekalipun usulan pemerintah Jokowi dalam RUU Pemilu itu bisa dibilang manuver ngawur, tetapi sejumlah parpol telah menyatakan dukungannya. Hal ini tidak mengherankan karena; Pertama, parpol-parpol itu tidak mempunya kader yang dapat menandingi Jokowi dan Prabowo. Kedua, PT menjadi alat tawar bagi partai. Jadi, RUU ini akan lancar-lancar saja dibahas di DPR RI.

RUU ini baru bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi setelah disahkan. Masalahnya lagi, terbentur pada soal waktu. Kalau waktu penetapan RUU itu mepet dengan waktu pelaksanaan Pemilu 2019, dan ketok palu MK baru dilakukan setelah batas waktu pendaftaran pasangan capres-cawapres, maka manuver ugal-ugalan Jokowi itu akan berjalan mulus pada 2019.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved